Kefamenanu, gardamalaka.com – Banyak orang menyukai dan mampu di bidang matematika, tapi tidak semua mereka mampu di bidang musik. Demikian sebaliknya, ada banyak orang menyukai dan mampu di bidang musik, tapi tidak semuanya lalu mampu di bidang matematika. Ada segilintir orang yang mampu kedua-duanya; pun sebaliknya, ada juga segelintir orang yang tidak untuk keduanya.
Nah, untuk Anda yang mampu di bidang matematika dan atau musik, tahukah Anda bahwa keduanya memiliki hubungan? Emang iya, keduanya punya hubungan?
Mari kita urai!
Anda tahu kan siapa itu Pythagoras? Kalau tidak, minimal Anda pernah dengar nama itu? Ya, di zaman sekolah dahulu, saat belajar tentang rumus Pythagoras. Ingat kan?
Pythagoras (dari Samos) adalah seorang Matematikawan dan Filsuf Yunani kuno dan perintis aliran pythagoreanisme. Dia diperkirakan lahir sekitar tahun 570 SM dan meninggal sekitar tahun 495 SM.
Ajaran politik dan keagamaannya dikenal di kawasan Magna Graecia pada masanya dan telah memengaruhi pemikiran Plato dan Aristoteles, sehingga secara tidak langsung ia juga telah berdampak terhadap perkembangan filsafat Barat.
Rincian mengenai kehidupannya diselubungi legenda, tetapi tampaknya ia adalah anak Mnesarkos, seorang pengukir permata atau saudagar kaya di Pulau Samos, lepas pantai Anatolia.
Para ahli modern masih memperdebatkan siapa guru Pythagoras, dan pemikir-pemikir mana saja yang pernah memengaruhinya.
Walaupun begitu, mereka sepakat bahwa pada kisaran tahun 530 SM, Pythagoras pindah ke Kroton di pesisir Italia dan mendirikan sebuah perkumpulan dengan keanggotaan khusus.
Mereka yang ingin bergabung harus diinisiasi terlebih dahulu, dan komunitasnya menjalani gaya hidup bersama dan bertarak. Komunitas ini juga memiliki aturan mengenai makanan.
Konon kabarnya, para pengikut Pythagoras harus vegetarian, tetapi ahli-ahli modern meragukan apakah Pythagoras benar-benar pernah mengharuskan para pengikutnya untuk tidak makan daging sama sekali.
Pada zaman kuno, nama Pythagoras dikaitkan dengan berbagai penemuan matematika dan ilmiah, seperti teorema Pythagoras, lima bangun ruang beraturan, teori kesebandingan, teori bumi bulat, dan gagasan bahwa bintang timur dan barat adalah planet yang sama, yaitu Venus.
Konon ia juga adalah orang pertama yang menyebut dirinya sebagai filsuf (“pecinta kebijaksanaan”) dan membagi dunia menjadi lima zona iklim.
Namun, para ahli sejarah klasik masih memperdebatkan apakah Pythagoras benar-benar telah membuat temuan-temuan ini, dan banyak pencapaian yang dikaitkan dengan namanya mungkin sudah ada sebelumnya atau dicetuskan oleh orang sezaman atau penerusnya.
Selain itu, masih diperdebatkan apakah ia benar-benar telah bersumbangsih terhadap bidang matematika atau filsafat alam.
Ah, sudahlah. Biarkan itu menjadi perdebatan para ahli.
Tetapi yang pasti, Pythagoras pernah mengemukakan dengan jelas sebuah ajaran, yaitu metempsikosis.
Dalam ajaran itu, ia berkeyakinan bahwa setiap jiwa itu abadi, dan setelah kematian, jiwa tersebut akan masuk ke tubuh yang baru.
Selain itu, ia juga merupakan penggagas doktrin musica universalis, yang menyatakan bahwa planet-planet bergerak sesuai dengan persamaan matematika, sehingga menghasilkan simfoni musik yang tak terdengar.
Sampai di sini barangkali tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa musik dan sejarahnya yang panjang, dengan segala perkembangannya, telah dimulai oleh seorang Pythagoras.
Anda gimana, tahu nggak?
Sebuah musik takkan menjadi indah jika nada-nadanya tidak terbentuk dan tersusun secara matematis.
Dari berbagai sumber yang saya baca, bahwa pada tahun 600 SM (zaman Yunani Kuno) Pythagoras sedang jalan melewati sebuah bengkel besi.
Sayup-sayup ia mendengar suara palu besi berirama. Ia pun lantas tertarik dengan suara palu besi yang berirama itu. Bagi Pythagoras, suara itu benar-benar terdengar seperti melodi yang merdu.
Sepulangnya ke rumah, ia yang adalah ahli matematika mulai interest dengan teori mendasar musik. Lalu ia pun mulai mengamati hubungan numerik antara matematika dan interval musik.
Pythagoras juga mulai menghitung dan mengungkap proporsi matematis, yang merupakan peraturan awal skala musik.
Ia menemukan bahwa dua nada yang membangun sebuah interval selalu berrasio 2 banding 1. Rasio kelima yang sempurna selalu 3 banding 2, dan keempat yang sempurna selalu 4 banding 3.
Pythagoras menggabungkan interval-interval ini dan kemudian menciptakan nada-nada lain untuk membentuk tangga nada mayor.
Dengan penuh ketelitian dan berdasarkan perhitungan matematisnya, lahirlah teori musik. Hal itu semakin memudahkan dia untuk mulai mengukur nada dan interval musik.
Dia pun lalu mengetahui bahwa nada dari senar bergetar berhubungan langsung dengan panjang senar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar lahirnya alat musik senar: Kecapi.
Setelah penemuan besar Pythagoras itu, orang Yunani Kuno mulai menulis interval musik lewat ukiran batu nisan yang berasal dari tahun 100 Masehi. Batu tersebut dikenal sebagai Seikilos Epitaph.
Pada batu itu berisi sebuah lagu yang telah dinotasikan, lengkap dengan lirik dan musik. Batu berukir itu juga mencatat skala musik buatan Pythagoras, diikuti dengan huruf-huruf dari alfabet Yunani.
Catatan ditulis sebagai huruf dengan simbol khusus di atasnya, dan lirik lagu disejajarkan tepat di bawah not.
Setelah itu, orang Yunani Kuno juga menemukan tetrachord, yaitu empat nada dalam satu skala musik.
Mari, tinggalkan sejenak Pythagoras. Setelah sekian abad berlalu, tepatnya di tahun 500 M, kekuatan kekaisaran Yunani menurun. Kekuatan dan pengaruh di seluruh daratan Eropa pun digantikan oleh kekaisaran Romawi.
Saat itu, Boethius, seorang filsuf Romawi mulai mempelajari secara mendalam ilmu Yunani Kuno tentang seni klasik, matematika, dan astronomi.
Boethius kemudian menulis sebuah buku dalam bahasa Latin, mencatat huruf-huruf mulai dari A sampai O. Di mana A adalah nada terendah yang dapat dinyanyikan oleh suara pria, dan O adalah nada tertinggi. (Kabarnya, buku tersebut masih banyak digunakan di banyak universitas di Eropa hingga saat ini).
Pada tahun 600 M, gereja telah bertumbuh. Gereja pun menjadi pusat aktivitas dan perkembangan musik.
Saat itu, para biarawan menyanyikan lagu-lagu Plainchant (atau melodi religi) di mana mereka berlatih secara intensif selama bertahun-tahun untuk menghafal semua nyanyian itu sepenuhnya.
Ketika jumlah lagu mulai berkembang, sebuah sistem untuk menggolongkan lagu dibutuhkan. Lalu, mereka membangun sebuah sistem yang disebut neumes.
Neumes adalah sebuah sistem dalam bentuk bintik-bintik, dan tanda yang ditulis di atas kata-kata untuk setiap lagu. Ikon-ikon mungil ini melambangkan melodi lagu, yang menunjukkan seberapa tinggi atau rendah setiap nada harus dinyanyikan, dengan relevansi nada berikutnya.
Memang, di kala itu, tanda-tanda tersebut belum sempurna, namun itulah yang menjadi dasar dimulainya seluruh skala musik. Sistem ini pun langsung populer; setiap gereja dan biara di Eropa lalu menggunakan itu sembari melakukan berbagai perbaikan.
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.