Wilfridus Son Lau, S.H., M.H. - Penasihat Hukum Media Siber Gardamalaka.com (Foto: Istimewa)
Wilfridus Son Lau, S.H., M.H. - Penasihat Hukum Media Siber Gardamalaka.com (Foto: Istimewa)

BETUN, GARDAMALAKA.COM – Penghentian Penyidikan terhadap dugaan perbuatan pidana terhadap wartawan gardamalaka.com disayangkan banyak pihak. Pasalnya, antara Penyidik Polres Malaka dan Polda NTT ternyata ada dualisme penafsiran.

Mengapa ada dualisme penafsiran? Apakah Penyidik Polres Malaka dalam menetapkan tersangka tidak merujuk kepada UU Nomor 8 Tahun 1981? Penyidik Polda NTT menggunakan KUHAP yang mana sehingga sudah ditetapkan tersangka malah di-SP3 dengan dalih tidak cukup bukti?

Demikian, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan salah satu penasihat hukum media gardamalaka.com, Wilfridus Son Lau, S.H., M.H saat ditemui tim media pada Minggu (14/2/2021).

Dia menjelaskan, penyidik Polres Malaka dalam menetapkan tersangka, apakah tidak memenuhi “bukti permulaan”? Sudah jelas diatur bahwa dalam hal menetapkan seseorang menjadi tersangka sudah pasti penyidik telah memperoleh probable cause atau bukti permulaan.

“Artinya cukup fakta dan keadaan bahwa tersangka adalah pelaku tindak pidana. Dalam kaitannya dengan dugaan tindak pidana pengeroyokan dan/atau penganiayaan terhadap wartawan Gardamalaka, penetapan tersangka terhadap Raymundus S. Klau, dkk sudah pasti penyidik telah memperoleh bukti permulaan,” terang Son Lau.

Ia memaparkan, nilai bukti yang diperoleh telah selaras atau telah bersesuaian dengan keadaan yang terjadi.

Sehingga menurutnya, di-SP3-kannya kasus ini, tidak saja aneh tapi juga misterius.

“Apakah VeR (Visum et Repertum) itu menjadi satu-satunya alat bukti untuk membuktikan tindak pidana yang disangkakan kepada para tersangka?” Tanya Son menohok.

Lebih jauh, Magister Hukum ini menjelaskan, dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia dianut system pembuktian negative wettelijk, artinya merujuk pada sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Visum et Repertum itu dikategorikan sebagai bukti surat sebagaimana Pasal 184 KUHP sehingga tidak bisa berdiri sendiri. Karenanya, alasan penghentian Penyidikan yang dilakukan Polda NTT karena tidak cukup bukti tidak beralasan menurut hukum,” tambah dia.

Wilfridus Son Lau, S.H., M.H. - Penasihat Hukum Media Siber Gardamalaka.com (Foto: Istimewa)
Wilfridus Son Lau, S.H., M.H. – Penasihat Hukum Media Siber Gardamalaka.com (Foto: Istimewa)

Menurut Son Lau, di-SP3-kannya kasus wartawan Gardamalaka ini menjadi preseden buruk penegakan hukum di wilayah NTT dan lemahnya perlindungan hukum terhadap wartawan di NTT.

Padahal, imbuhnya, wartawan itu menurut Undang-Undang Pers dalam menjalankan profesinya dilindungi undang-undang sehingga apabila ada yang menghalangi saat melaksanakan tugasnya dapat dipidana.

“SP3 ini justru terkesan Polisi membiarkan praktik impunitas terhadap wartawan terjadi. Polda NTT tidak serius untuk menuntaskan kasus ini dan tidak memahami undang-undang Persnya sehingga perbuatan yang nyata-nyata adalah perbuatan pidana malah dihentikan. Ini menunjukkan Polda NTT gagal dan tidak paham hukum,” ketus Son Lau.

Diakuinya, penghentian penyidikan atas suatu perbuatan pidana yang sedang berproses atau sedang berjalan memang kewenangan penyidik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi, undang-undang juga secara limitatif membatasi alasan penghentian penyidikan.

Katanya lagi, penghentian Penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti sama sekali tidak membawa hapusnya wewenang penyidik untuk memeriksa dan menyidik kembali kasus tersebut sehingga apabila di kemudian hari diperoleh bukti yang cukup, penyidikan dapat dimulai lagi.

“Sebab dari segi hukum formal, penghentian penyidikan bukan merupakan nebis in idem. Kasus ini belum selesai,” tegas Son mengakhiri. (Tim/Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here