
TANGIS DI KAMIS SENJA (1)
Oleh: Kondradus Y. Klau
Hujan baru saja berhenti membasahi bumi. Aku berlangkah menelusuri lorong-lorong kota.
Di ufuk Barat kulihat si raja siang akan menuju peraduannya. Di Timur sana terpampang pelangi melengkung lembut di ujung pepohonan. Indah nian.
Aku terus berjalan, menapaki setiap trotoar. Kulihat kiri dan kanan, pada rerumputan dihantam bening air hujan.
Di sana tersisa butiran air seolah menggambarkan seonggok harapan untuk terus hidup.
Langkah demi langkah kutempuh, sesekali kumenunduk melihat trotoar yang terkadang putus, entah sejak kapan.
Ia seolah tak terurus ibarat kehidupan orang-orang tanah ini yang lama tak terjamah urusan kesejahteraan.
“Hidup ini berat. Kadang mulus kadang pula terputus”, gumamku.
Matahari kian tak kelihatan. Tak lama lagi malam menjemput. Aku masih saja berjalan, terus menyusuri lorong-lorong bisu.
Kota ini bagai mati, tak ada kehidupan. Mungkin kehidupan kota ini sudah direnggut penguasa singgasana.
Akh, makin berat hidup di tanah ini. Bumi yang penuh susu dan madu.
Di persimpangan sebuah gang kecil aku terpaku. Berdiri termangu. Di sana kulihat puing-puing, sisa reruntuhan sebuah bangunan.
Hati ini sontak bertanya: “apa gerangan telah terjadi?”

Sedangkan di samping kiri dan kanan jalan berdiri bangunan-bangunan megah. Kukerutkan dahi mencoba menyelami sebuah kenyataan hidup di depan mata.
Puing-puing ini, akh apa yang telah terjadi? Hatiku semakin penasaran.
Lama kuberdiri, diam terpaku dan membisu. Namun tak kutemukan jawaban atas kenyataan ini.
Kutengok ke kananku melirik lorong yang gelap, niat hati ingin beranjak pergi.
Tiba-tiba kudengar suara lirih memanggil: “Cantika, Cantika, Cantika….!”
Akh, suara yang lirih seperti tak berdaya. Namun, kutak jelas dari mana asal suara itu.
Satu, dua, tiga langkah aku beranjak. Kudengar lagi suara itu memanggil: “Cantika, anakku…. bangunlah….!”
Kali ini aku bisa pastikan. Suara itu datang dari antara puing-puing reruntuhan.
Malam telah tiba. Gelap suasananya. Lampu-lampu di sudut-sudut bangunan tinggi dipadamkan, entah mengapa.
Kuberanikan diri ke arah puing-puing tadi. Kudengar tangis lirih, lemah tak berdaya.
Semakin dekat, semakin kudengar tangisan itu menusuk kalbu. Sebuah tangisan penuh harap akan belas kasihan.
Tetapi aku kebingungan. Bagaimana aku menjangkau hingga ke dalam reruntuhan.
Masih, lirih tangis memecah malam yang kian larut. Tak ada penerang.
Kucari akal, harus kutembusi puing-puing ini agar temui dia yang menangis, merintih pilu di Kamis senja.
(Bersambung…)
Sungguh sangat terharu kata-kata yang menyentuh hati membuat saya seperti tidak berdaya😪
Sungguh ini sangat Menyentuh HatiQ✌