Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) Jakarta (Foto: Dok. Biro Humas KPK)
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) Jakarta (Foto: Dok. Biro Humas KPK)

JAKARTA, GARDAMALAKA.COMHeboh! Salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), Alexander Marwata menyampaikan, tindak pidana korupsi tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan dan ekonomi, dan kerap pelaku korupsi yang ditindak KPK berawal dari adanya politik oligarki.

“Kalau kita ikuti penindakan-penindakan yang dilakukan KPK, terutama kalau dikaitkan dengan operasi tangkap tangan kepala-kepala daerah itu sebetulnya tidak lepas dari politik oligarki juga, di sana kita pahami bahwa pemilihan kepala daerah itu juga tidak lepas dari kepentingan ekonomi,” ujar Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam Webinar bertajuk “Memahami Oligarki, Aspek Ketatanegaraan Ekonomi dan Politik Pemberantasan Korupsi”, Selasa (9/6/2020).

Marwata membeberkan, KPK terus berusaha memutus mata rantai tersebut. Pihak KPK berharap ke depan kepala daerah yang terpilih adalah kehendak masyarakat luas bukan kehendak kepentingan tertentu.

“Harapannya ketika kepala daerah itu dipilih secara demokratis, itu bisa mencerminkan kehendak masyarakat luas, bukan kehendak kelompok minoritas atau kepentingan tertentu,” kata Alex Marwata.

Marwata mengakui, tingginya biaya politik di Indonesia jadi penyebab munculnya perilaku koruptif.

Menurutnya, biaya politik yang tinggi pada akhirnya membuat para kepala daerah hingga legislatif yang terpilih menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal politiknya.

“Biaya politik sangat mahal sekali di Indonesia, ini menjadi problem sehingga kepala daerah, calon kepala daerah, calon anggota legislatif itu mencari sponsor. Ini akan menimbulkan rentetan perilaku koruptif apabila nanti yang bersangkutan terpilih,” beber Alexander Marwata.

Sementara, ekonom Faisal Basri mengungkapkan bahwa korupsi politik memiliki dampak lebih besar bagi kehidupan bernegara dibanding perilaku koruptif yang lain.

Korupsi politik yang terjadi karena oligarki, ini sudah masuk jadi bagian untuk pembuat kebijakan.

“Dari merebaknya oligarki ini ke politic corruption. Jadi mereka masuk bukan korupsi menyuap pejabat untuk apa, tapi menentukan isi undang-undang. Dan di tengah pandemi ini mereka telah berhasil mengegolkan UU Batubara yang baru, itu oligarki yang benar. Itu karena hanya 6 perusahaan yang menguasai 70 persen produksi batubara,” kata Basri.

Faisal Basri menuturkan, para oligarki itu biasanya akan membuat kebijakan untuk kepentingan kelompoknya. Kebijakan-kebijakan dibuat untuk melindungi.

Collusion and nepotism dan organize and systemic corruption. Ini yang sekarang sistemik, mereka yang membuat payung-payung melanggengkan korupsi mereka dengan membikin payung UU Minerba, Omnibus, dan UU Pajak, bahkan sudah menerabas cenderung ke isi Perppu Nomor 1 Tahun 2020,” tuturnya.

Diskusi daring yang dipandu oleh Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah ini menghadirkan 4 pemateri yaitu Chair of the Departement of Political Science North Western University Jeffrey Winters, Jurnalis dan Founder Narasi TV Najwa Shihab, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar dan ekonom Faisal Basri.

Dalam diskusi itu Febri menjelaskan, AJLK 2020 adalah sebuah kelas intensif selama lima hari yang akan diisi materi-materi yang dibutuhkan dalam mempublikasikan isu pemberantasan korupsi.

Semula kegiatan AJLK ini akan diawali dengan pelatihan yang dilakukan di 15 kota di Indonesia, namun berubah konsep menjadi Webinar mengingat pandemi Covid-19 masih belum berakhir.

“Kegiatan ini tidak hanya terbuka untuk jurnalis, tapi juga terbuka untuk masyarakat di seluruh Indonesia, yang peduli dengan isu pemberantasan korupsi dan ingin menyebarluaskannya. Mulai dari jurnalis warga, komunitas, hingga akademisi dipersilakan untuk mendaftar,” ungkapnya.

AJLK ini terbuka untuk berbagai kalangan masyarakat. Pendaftaran akan dibuka melalui website KPK, dan KPK akan menyeleksi hingga terpilih 30 orang peserta yang berhak mengikuti kelas intensif selama lima hari di Jakarta.

Peserta akan diminta membuat sebuah tugas akhir, yang bisa berbentuk peliputan, pembuatan situs publikasi atau apapun proyek yang bisa mempublikasikan upaya pemberantasan korupsi.

Karya terbaik akan diumumkan dalam wisuda Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi yang digelar bersamaan dengan Hari Antikorupsi Sedunia, di Jakarta, pada 9 Desember 2020 mendatang.

Materi Webinar “Memahami Oligarki, Aspek Ketatanegaraan, Ekonomi dan Politik Pemberantasan Korupsi”
1. Faisal Basri, 2. Zainal Arifin Mochtar, 3. Najwa Shihab.

Heboh! Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Bicara Tentang Oligarki di Malaka-NTT (KPK RI) Jakarta (Foto: Dok. Biro Humas KPK)
Heboh! Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) Jakarta Bicara Tentang Oligarki di Malaka-NTT (Foto: Dok. Biro Humas KPK)

NTT dalam Bayang Kombinasi Oligarki-Dinasti Politik

Salah satu peserta Webinar saat itu adalah Oktavianus Seldi, jurnalis anti korupsi yang bertugas di NTT.

Webinar bertema “Memahami Oligarki, Aspek Ketatanegaraan, Ekonomi dan Politik Pemberantasan Korupsi” sebagai kegiatan pembuka Akademi Jurnalis Lawan Korupsi tahun 2020.

Ketika mendapat kesempatan bertanya, Oktavianus Seldi pun lontarkan pertanyaan.

Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah dalam diskusi daring yang dipandunya itu menanggapi pertanyaan jurnalis asal NTT itu.

Berikut pertanyaan yang dilontarkan jurnalis Seldi tersebut:

“Sejauh mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi penanganan kasus dugaan korupsi akibat adanya dugaan politik dinasti di Kabupaten Malaka yang dimana memiliki kombinasi yang cukup erat dengan Oligarki?

Sebab, bila merujuk pada makna politik dinasti ada hubungan dengan Oligarki, maka Kabupaten Malaka merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang diduga kuat sedang mempraktikkan politik dinasti yang berkombinasi dengan Oligarki.

Hal ini terlihat dari sejumlah keluarga kandung dan kerabat Bupati Malaka, Stef Bria Seran yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan Kabupaten Malaka, di antaranya:

Ketua DPRD Kabupaten Malaka, Adrianus Bria Seran adalah adik kandung dari Bupati Malaka.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malaka, Petrus Bria Seran adalah adik kandung Bupati Malaka.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Malaka, Yanuarius Bria Seran adalah adik kandung Bupati Malaka.

Kepala Rumah Sakit Penyangga Perbatasan (RSPP) Betun, Kabupaten Malaka, dr. Oktelin K. Kaswadie adalah isteri dari Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Yanuarius Bria seran.

Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Malaka, Veronika Flora Fahik adalah sepupu Bupati Malaka.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Malaka, Aloysius Werang adalah suami dari Veronika Flora Fahik atau ipar Bupati Malaka.”

Pertanyaan Oktavianus Seldi itu mengundang perhatian serius, dan berhasil ditanggapi Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah.

Febri menjelaskan, kita semua tidak boleh mengingkari bahwa keberadaan politik dinasti berdampak di Malaka-NTT dan Indonesia.

Sebab pihaknya melihat beberapa daerah yang terjadi demikian, yang bisa disebut politik dinasti. Mulai Gubernur, Bupati, Wali Kota, serta jabatan strategis lainnya ataupun di DPRD dan jabatan lainnya.

Sementara Faisal H. Basri, SE., MA, menanggapi pertanyaan itu dan menjelaskan, Oligarki dan Dinasti politik ada keterkaitan, yang di mana kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit yang berpotensi menimbulkan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas pemerintahan, hal tersebut membuat ekonomi setiap wilayah atau daerah itu menurun.

“Nah, di akhir masa jabatannya, dia tidak akan tenang. Jadi gimana jika pemimpin baru, mengutak-atiknya. Di situ mulailah dipasangkan keluarga atau orang kepercayaan untuk menggantikan jabatan itu, untuk mengamankan posisi, seperti yang terjadi di Madura,” beber Faisal.

Sebab Oligarki dan politik dinasti ada terkait, membuat cita-cita pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) dan ekonomi menjadi sulit diwujudkan.

Sebab kontrol kekuasaan tidak berjalan secara efektif. Sehingga sangat besar peluang terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. (Tim/Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here