
Orang Seperti Apa Saya Seharusnya?
Oleh: Aris Saka*
*) Peneliti dan Pemerhati Masalah Sosial
(Judul Asli: “What Kind of Person Should I Be?“)
GARDAMALAKA.COM – Sejak kecil Anda dan saya pasti sering mendengar nasihat dari orang tua, guru, imam, teman atau keluarga, “jadilah orang baik.”
Nasihat ini sepertinya didengar sepanjang waktu dalam rentang perkembangan hidup manusia, mulai dari masa anak-anak, berlanjut masa remaja, lalu sampai masa dewasa. Nasihat tua ini menimbulkan pertanyaan: apa arti kata baik? Dan apa indikator seorang manusia itu disebut baik?
Jawaban bisa saja bermacam-macam sesuai dengan perspektif masing-masing pribadi. Seorang disebut baik kalau taat dan patuh terhadap orang tua; pintar dengan prestasi yang mentereng; beriman yang dicirikan dengan sikap selalu berdoa dan taat beragama; sehat secara mental dengan kemampuan meregulasi emosi dengan baik, taat terhadap hukum dengan sikap yang tidak pernah melanggar hukum, dan lainnya.
Namun, dengan sikap atau pandangan yang demikian, apa kita telah disebut sebagai individu yang baik? Menarik untuk merefleksikan pertanyaan tersebut dalam pandangan filsafat.
Plato merupakan filsuf pertama yang mencoba mencari arti apa itu kata baik dan kondisi yang memotivasi manusia untuk berbuat baik. Ia secara filosofis merefleksikan kata “yang baik”, meskipun tidak secara gamblang menjelaskan arti kata tersebut.
Plato menjelaskannya dengan sebuah analogi manusia gua. Dalam suatu kesempatan ia berdialog dengan Glaucon, saudara tua Plato mengatakan demikian:
“Di dalam sebuah gua, ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana sejak kecil dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke dinding gua. Yang mereka tatap di dinding gua itu yakni bayang-bayang dari pelbagai objek yang lalu-lalang di belakang mereka.
Pada suatu kesempatan, seorang tawanan dilepas dan ia diminta untuk melihat sumber bayangan. Ia terkejut ketika sumber bayangan tersebut yakni kobaran api yang maha besar (matahari) dan membuatnya silau. Lama kelamaan ia pun terbiasa melihat kobaran api tersebut dan manusia yang lain. Akhir cerita, ia kembali ke gua dan membebaskan teman-temannya, tetapi mereka lebih memilih melihat bayangan yang ada di gua.”
Dari alegori gua, Plato mau mengatakan bahwa yang baik itu ibarat matahari (sumber bayangan); alasannya, karena matahari sebagai sumber utama kehidupan bagi semesta.
Jika ditarik dalam logika hubungan kausal (sebab-akibat), matahari merupakan sebab pertama yang tidak disebabkan oleh benda yang lain. Tetapi, bagi Plato makna ini tidak cukup karena bersifat objektif artinya benda yang baik itu berada di luar diri manusia.
Makna yang baik itu berarti penuh, jika ada dimensi cinta (eros) dari manusia untuk mencari yang baik. Dalam kaitannya dengan alegori gua, manusia gua mau melihat sumber bayangan dan kembali ke gua mengajak teman-temannya melihat sumber bayangan.
Menurut Plato, pilihan tersebut berdasarkan keutamaan dasariah yang ada pada setiap individu yakni cinta (eros).
Cintalah yang menuntun manusia gua untuk melihat sumber bayangan yakni matahari (yang dalam alegori ini dimaksudkan Plato sebagai simbol kebenaran sejati yang lebih tinggi).
Begitu juga halnya ketika ia telah melihat dan menyadari sumber bayangan dan kembali ke gua untuk membebaskan teman-temannya dari sikap menikmati (fantasi) bayangan.
Dari alegori gua Plato dapat disimpulkan bahwa yang baik merupakan segala-galanya.
Manusia yang baik pada dasarnya mengarahkan seluruh dimensi kehidupan pribadinya kepada yang baik. Hidup manusia akan semakin bernilai bila terarah kepada nilai dasar tersebut.
Kekuatan universal yang menghubungkan sekaligus mengarahkan kita, lebih tepatnya yang membuat kita senantiasa terarah, pada yang baik itu adalah cinta.
Cinta kepada yang baik, sebagai matahari, sebagai perwujudan dan pemenuhan diri kita dalam ide kesempurnaan, membuat kita senantiasa merindukan cahayanya, merawat cahayanya, memurnikan cahayanya, membuka jalan bagi cahayanya.
Berkaca pada pandangan Plato, terdapat relevansi etis yang harus diwujudkan dalam segala tindakan manusia yakni mencintai pengetahuan.
Plato dengan tegas menjelaskan bahwa mencintai yang baik itu bisa diartikan dengan mencintai pengetahuan. Pengetahuan adalah dasar dari segalanya. Lalu, apa tujuan ilmu pengetahuan bagi manusia?
Tujuan utamanya yakni agar manusia bisa memahami diri sendiri dan realitas, lalu mampu memecahkan berbagai persoalan.
Hal ini berarti manusia yang berpengetahuan harus menggiatkan dirinya untuk terus mencari pengetahuan dengan membaca dan berdiskusi dan ouputnya yakni kemampuan menganalisis dan berpikir kritis baik secara lisan maupun tulisan.
Cinta akan pengetahuan itu juga terbatas, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan akal budi manusia itu sendiri.
Kembali kepada alegori gua bahwa manusia itu tentu saja tidak bisa melihat matahari, tetapi manusia merasakan atau melihat “cahaya” matahari.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana manusia mencintai Tuhan, manusia tidak bisa melihat Tuhan atau akal budi manusia sangat terbatas untuk mengerti keberadaan Tuhan. Tetapi, manusia bisa merasakan adanya Tuhan dengan forma, ajaran-ajaran yang menunjukkan bahwa Tuhan itu ada dan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia.
Lantas, ajaran seperti apa yang membuat manusia manusia itu disebut baik? Saya mencoba mencari jawabannya dalam tulisan Perjanjian Baru (New Testament) yang berkaitan dengan cinta kasih (kasih).
Dalam Perjanjian Baru ulasan yang sangat mendalam tentang apa itu kasih diuraikan secara baik oleh Paulus dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus Pasal 13.
Ada beberapa dimensi kasih yang dijelaskan Paulus: a) dimensi pribadi (murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong, jujur, percaya, penuh pengharapan, dan sabar); b), dimensi sosial (sopan, tidak mencari keuntungan pribadi, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain; c) dimensi politik (mengutamakan keadilan dan kebenaran).
Dengan demikian, Paulus ingin menegaskan bahwa kasih itu bersifat persona. Artinya, kasih itu bagian dari diri manusia dan harus diekspresikan melalui tindakan.
Manusia yang baik menerima ajaran ini sebagai bentuk sikap mencintai Tuhan dan harus mempunyai dampak sosial bagi sesama manusia dan juga negara. Sehingga, relevansi yang kedua dari pandangan Plato tentang yang baik yakni mencintai sesama sebagai manifestasi cinta kepada Tuhan.
Ada bahaya bahwa cinta seorang individu kepada yang baik akan terdistorsi. Pada bagian terakhir alegori gua, Plato menjelaskan bahwa ketika salah satu manusia gua mau mengajak teman-temannya untuk melihat cahaya matahari, mereka menolaknya dan memilih untuk bertahan.
Keengganan manusia untuk melihat matahari dan bertahan pada situasi untuk melihat bayangan merupakan realitas dan simbol keangkuhan.
Keadaan seperti ini dapat dibaca keengganan manusia untuk mengalami pengalamaan perjumpaan yang intens dengan yang baik (pengetahuan dan Tuhan) dan terkungkung dengan fantasi yang menghibur, tetapi menipu diri.
Manusia seperti ini nampak dalam sikap mencari pengetahuan hanya melalui media online yang tidak memberikan gambaran pengetahuan yang utuh. Akibatnya, sering melakukan plagiat, merasa diri paling tahu, lalu merendahkan orang lain.
Hal yang sama juga nampak pada orang yang tidak mau belajar spiritualitas agama dengan utuh. Pada diri orang-orang seperti ini akan tumbuh subur sikap fanatisme, munafik yang menekankan kesalehan tapi lupa dimensi kemanusian.
Kita sebagai sesama manusia tidak bisa menolak bahkan mengumpat ketika mengalami realitas perjumpaan dengan sesama manusia yang tidak mau melihat yang baik secara utuh.
Hal yang perlu dilakukan yakni “purifikasi eros” yang berkaitan dengan edukasi kesadaran. Dimensi utama edukasi kesadaran yakni mengedepankan cinta itu sendiri yang menghasilkan perubahan dari dalam.
Pertanyaannya, siapakah yang bertanggung jawab melakukan purifikasi eros? Jawabannya yakni proses artinya kondisi akan membuat seorang akan sadar untuk melakukan purifikasi eros.
Apakah sesama dengan pandangan moral agama mampu memotivasi seseorang dalam melakukan purifikasi eros? Saya sedikit agak ragu karena kesadaran yang sejati harus ditemukan sendiri oleh seorang individu.
Sebagai kesimpulan, makna imperatif “jadilah orang baik” sebenarnya ingin mengajak manusia untuk mengarahkan dirinya menjadi orang yang bijaksana.
Dalam rentang sejarah filsafat dari zaman kuno sampai kontemporer para pemikir (filsuf) dengan tegas mengatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya atau orang lain yang yang bijaksana. Tetapi, kemampuan manusia untuk mengarahkan diri menjadi bijak merupakan sebuah kemungkinan.
Agar manusia punya kemampuan mengarahkan dirinya pada kiblat kebijaksanaan, syaratnya yakni dengan menyeburkan diri dengan pengetahuan.
Cintailah pengetahuan sebagai bagian yang selalu melekat pada kepribadian.
Selain itu, belajarlah nilai-nilai spiritualitas keagamaan yang mendorong seorang individu untuk mencintai diri sendiri, sesama, dan negara.
Individu yang mengarahkan diri pada kebijaksanaan yakni ia yang mampu mengawinkan pengetahuan dan nilai spiritual di dalam dirinya dan nampak dalam segala tindakan.(*)