Ilustrasi (Sumber: Pixabay)

JAKARTA, GARDAMALAKA.COM – Kuasa Hukum BT, Joao Meco, S.H memberi penjelasan terkait penjemputan paksa yang dilakukan Tim Polda NTT terhadap kliennya.

Kepada gardamalaka.com melalui pesan WhatsApp, Sabtu (18/4/2020), Joao Meco menjelaskan, sebelumnya BT berada di Surabaya, jauh sebelum dirinya ditetapkan sebagai tersangka.

“Kami meminta agar BT merapat ke Jakarta, agar tanggal 20 April 2020 kami bersama-sama menuju Polda NTT”, jelasnya.

Lebih lanjut Kuasa Hukum BT menulis dalam pesan WhatsApp-nya, “melalui komunikasi WhatsApp pada hari Rabu tanggal 15 April 2020 selaku KH kami sudah melaporkan langsung kepada Direktur Krimsus Polda NTT bahwa kami bersama BT akan menghadap ke Polda dan beliau sudah setuju.”

Tambahnya, “untuk memastikan dan menegaskan keberangkatan kami tanggal 20 April 2020 ke Kupang, kami dengan BT melakukan beberapa persiapan sambil makan siang bersama di salah satu rumah makan kecil di Cililitan, Jakarta.”

Ia melanjutkan, “ketika BT kembali ke penginapannya di Apartemen Kalibata City ternyata sudah ada Penyidik Polda NTT yang bermaksud menjemput BT untuk dibawa langsung atas surat perintah Direktur Krimsus Polda NTT.”

“Pada saat itu kami masih dalam perjalanan menuju rumah dan ketika diberitahu oleh anggota keluarga BT bahwa ada Penyidik Polda NTT, kami langsung memutar haluan kembali menuju ke Apartemen Kalibata City.”

“Saat menemui rombongan Penyidik kami menanyakan maksud dan tujuan kemudian kami persilahkan untuk membawa BT karena kami ingin menunjukkan etikat baik bekerja sama dengan aparat penegak hukum, walaupun sebelumnya kami sempat pertanyakan komunikasi yang telah kami lakukan dan sepakati dengan Direktur Krimsus Polda NTT bahwa tanggal 20 April 2020 kami bersama-sama menuju Polda NTT”, urai Joao Meco.

“Karena penjelasan Tim Penyidik Polda hanya sebagai lips service maka saya memutuskan untuk meyakinkan dan menasehati BT untuk bekerja sama dan ikuti saja apa yang dikehendaki penyidik. Setelah BT mendengar anjuran kami kemudian BT kami antar ke Bareskrim Mabes Polri dengan mobil kami”, jelas dia.

Joao mengungkapkan, secara singkat prosesnya berjalan baik karena ketika ada keraguan dari BT, pihaknya (Kuasa Hukum) meyakinkan agar mengikuti saja apa yang dikehendaki oleh Penyidik.

“Dan kepada Penyidik kami juga tegaskan bahwa silahkan menggunakan kewenangan yang anda miliki untuk membawa BT, karena itulah prosedurnya”, ungkapnya.

“Kami hanya berharap dalam situasi sedang terjadi pandemi covid-19 dan Jakarta merupakan Zona Merah sehingga Pemda DKI Jakarta yang telah memutuskan untuk menetapkan Jakarta menjadi PSBB, kehadiran BT tidak menjadi sumber merebaknya covid-19 di Kupang karena sebagimana kita ketahui bahwa ada penderita covid-19 yang dinyatakan positif dan kemudian meninggal tanpa gejala.”

“Oleh karena itu, harapan saya tibanya BT di Kupang Penyidik Polda NTT bersedia menjalani prosedur tetap (protap-red) untuk menentukan apakah BT bersih dari covid-19 dengan cara Karantina, karena polisi selain fungsinya sebagai Penyidik, Polri juga mendapat mandat untuk mengamankan proses merebaknya covid-19 melalui tahapan dan aturan yang telah ditetapkan pemerintah.”

Joao Meco mengimbuhkan, dari aspek prosedur hukum, penjemputan BT ini, menurut pihaknya, Penyidik melakukan dengan cara pendekatan kekuasaan dan mengabaikan hukum.

“Penyidik ingin menunjukkan bahwa mereka berkuasa di atas hukum dan hukum acara yang mengatur penangkapan dan penahanan hanya berlaku untuk orang yang mempunyai kedudukan, uang dan pangkat”, katanya.

“Di Polda lain di Indonesia, Penyidik telah menunjukkan kualitas mereka sebagai aparat pelaku-pelaku penegak hukum yang mentaati prosedur yang digariskan melalui hukum acara sedangkan Polda NTT penjemputan BT ini menunjukkan dan membuktikan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekuasaan bukan pendekatan hukum.”

“Karena yang terjadi, mereka berkuasa untuk membawa BT namun tidak menunjukkan surat penangkapan dan BT dibawa begitu saja, tidak ada anggota keluarga yang diberikan surat, tidak ada tanda tangan penyerahan tersangka dari keluarga maupun KH.”

“Kami sempat mempernyatakan hal itu namun Penyidik berkilah ini perintah Direktur Krimsus Polda NTT, jadi di tempat lain perintah atasan yang tidak sesuai prosedur bisa ditolak namun di NTT hal itu tidak boleh karena perintah atasan nama hukum sama dengan titah raja yang harus dilaksanakan tanpa reserve.”

“Dengan demikian, pendapat kami, di NTT Pembinaan Pimpinan Polda NTT untuk anggota dalam segala tingkatan sangat lemah, terkesan dibiarkan dan mungkin pimpinan Polda NTT tidak peduli, yang penting hadir di NTT selaku pimpinan dengan ke mana-mana membawa tongkat komando sebagai pimpinan.”

“Apa yang kami sampaikan ini, sesungguhnya bisa kita saksikan di berbagai wilayah NTT, ada orang yang dijemput polisi lalu paginya ditemukan meninggal atau sekarat di tengah jalan, kemudian dengan gampangnya polisi mengatakan bahwa mereka tidak tahu.”

Kuasa hukum berharap, dengan penahanan BT ini, kasus Bawang Merah Malaka segera melaju untuk di-P21 dan secepatnya dilimpahkan ke Pengadilan untuk disidangkan.

“Karena kami melihat cara-cara yang ditunjukkan Penyidik, kami menduga ada semacam skenario yang dimainkan oleh Penyidik untuk ada klimaks sandiwara, agar pihak tertentu atau kelompok tertentu menonton sambil minum kopi dan menikmati pisang goreng, mungkin penonton itu salah satu di antara raja-raja yang menobatkan dirinya sendiri menjadi raja NTT, hanya dugaan saja, mari kita bertanya kepada rumput dan alang-alang yang bergoyang”, tulis Joao Meco mengakhiri. (Tim/Red)

BACA JUGA:
Tim Polda NTT Jemput Paksa BT Terkait Kasus Bawang Merah Malaka

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here