Oleh: Handrianus Nino*

*) Dosen dan Peneliti pada Universitas Timor Kefamenanu-TTU, NTT

(Sebuah Studi di Tapal Batas Kabupaten Timor Tengah Utara-Indonesia dan Distrik Oecusse-Timor Leste)

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indenesia terkenal memiliki perimeter perbatasan yang sangat panjang dengan negara-negara tetangga. Salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berupa daratan dan berbatasan langsung dengan negara lain adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu dengan Timor Leste yang sebelumnya pernah menjadi bagian dari NKRI (Provinsi Timor Timur) antara 1975 hingga 1999.

Salah satu persoalan yang dihadapi RDTL adalah persoalan penetapan perbatasan khususnya perbatasan di darat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini disebabkan karena perbatasan darat kedua Negara terdiri dari dua bagian yaitu perbatasan di sekitar Oecusse yaitu suatu enclave yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Timor Leste yang berada di Timor Barat yang merupakan wilayah NKRI, dan terpisah sekitar 60 km dari wilayah induknya, kedua perbatasan sepanjang 149,9 km yang membelah pulau Timor menjadi Timor Barat dan Timor Leste di bagian Timur, sehingga penetapan batas wilayah merupakan tujuan utama yang harus di selesaikan demi hubungan baik antara kedua Negara Indonesia dengan Republik Demokrat Timor Leste.

Sejarah panjang permasalahan konflik tapal batas antara kedua negara Indonesia dan RDTL dapat dikelompokkan dalam lima periode.

Pertama: masa Kolonialisme.

(Masa ini dimulai pada tahun 1701-1945 di mana pada saat itu Belanda menjajah Indonesia dan Portugis menjajah Timor Leste). Sebuah masa di mana disepakati delimitasi dan demarkasi yang dikenal dengan A Convention for Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor, yang ditandatangani pada tanggal 1 Oktober di Belanda. Perudingan kedua dikenal dengan nama Permanent Court of Arbitration (PAC), yang dibuat pada tahun 1914. Berakhir dengan adanya kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945, dan wilayah perbatasan berubah nama dari perbatasan Indonesia dan Timor Portugis.

Kedua: Pasca Kemerdekaan Indonesia.

Indonesia telah merdeka dan memiliki hak untuk mengatur dan mengelolah seluruh wilayahnya, tetapi pada masa ini Pulau Timor bagian Timur masih berada di bawah Kolonialisme Portugis sehingga wilayah tersebut dikenal dengan nama Timor Portugis. Pada waktu itu tejadi upaya melakukan demarkasi khusus di wilayah Oecusse yang dilakukan oleh Indonesia dan Timor Portugis.

Ketiga: Integrasi Timor-Timur.

Periode ini terjadi pada tahun 1975-1999 di mana pada periode ini kepemilikan wilayah berubah dari Kolonial Portugis menjadi milik Indonesia, dimulai dari Revolusi Anyelir oleh Fretelin yang menyebabkan bangsa Portugis meninggalkan Timor-Timur, dilanjutkan dengan integrasi Timor-Timur menjadi bagian dari Indonesia sebagai propinsi ke 27 pada waktu itu. Maka batas wilayah yang sudah ada berubah menjadi batas provinsi.

Pada masa ini tidak ada konflik antar masyarakat karena baik itu Indonesia dan Timor-Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa ini juga dilakukan upaya oleh Indonesia terhadap penentuan batas-batas wilayahnya namun tidak diakui oleh International Boundary atau Pengakuan Internasional.

Keempat : Pra kemerdekaan, yang dimulai pasca reverendum Timor-Timur pada tahun 1999-2002.

Pada saat inilah lahir sebuah negara baru yang difasilitasi oleh PBB melalui UNAMET (United Nation Mission in East Timor), sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan Timor-Timur diwakili oleh UNTAET, termasuk hubungan bilateral dengan Indonesia hingga penetapan batas-batas negara. Pada masa inilah UNTAET dan Indonesia membentuk Joint Border Committe (JBC), untuk melakukan penetapan wilayah perbatasan kedua negara.

Kelima: Kemerdekaan Sebagai Negara Yang Berdaulat, dimulai dari tahun 2002 hingga saat ini.

Penegasan batas wilayah kembali dibuat oleh kedua negara karena UNTAET tidak lagi memiliki peran sebagai wakil dari pemerintah Timor-Timur, karena Timor-Timur telah resmi merdeka sebagai negara yang berdaulat dan berubah nama menjadi Republica Demokratica de Timor Leste (The Democratic Republic of East Timor) atau dalam bahasa Indonesia Republik Demokratik Timor Leste.

Upaya kedua negara untuk menentukan batas wilayah adalah dibentuknya sub-komite yang berada pada level teknis penegasan tapal batas negara yang disebut dengan Technical Sub-Committe Border Demarcation Regulation atau disingkat TSC-BDR.

Sampai dengan saat ini permasalahan konflik sosial tapal batas antara Indonesia dengan Republik Demokrat Timor Leste, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecusse ada enam titik di antaranya adalah Pertama ; Bijaelsunan/Oelnasi/Crus, bagian dari Desa Manusasi, Kecamatan Miomaffo Barat, yang berstatus Unresolved segment karena status tanah di daerah ini masih steril dan tidak boleh dikuasai kedua negara, baik Indonesia maupun Republik Demokrat Timor Leste. Kedua ; Tubu Banat/Oben, yang letaknya di Desa Nilulat dan Tubu, Kecamatan Bikomi Nilulat. Ketiga ; Nefo Nunpo yang letaknya ada di Desa Haumeniana, Kecamatan Bikomi Nilulat. Keempat ; Pistana yang terletak di Desa Inbate dan Nainaban, yang terletak di Kecamatan Bikomi Nilulat. Kelima ; Subina yang terletak di Desa Inbate dan Nainaban. Masalah tapal batas yang berada di Kecamatan Bikomi Nilulat ini termasuk dalam kategori Unsuveyed segment karena masyarakat Indonesia yang berada di Bikomi Nilulat menganggap bahwa tanah ini adalah tanah ulayat, yang secara sepihak diambil oleh Timor Leste (Distrik Oecusse), wilayah yang dimaksud seluas ±14 Km, yang jika deterapkannya batas negara berdasarkan traktat tahun 1904 antara kolonial Portugis dan Belanda. Masyarakat mengklaim wilayah ini karena mereka memiliki kesepakatan adat yang sudah terjadi pada masa sebelum Kolonial Belanda dan Portugis menjajah Pulau Timor.

Konflik sosial yang terjadi di wilayah perbatasan beraneka ragam, di antaranya seperti penjualan Bahan Bakar Minyak, karena harga yang ditawarkan di Oecusse sangat tinggi, dan adanya pelintas batas secara ilegal, namun yang paling menonjol dari segala bentuk konflik sosial yang ada adalah adanya penetapan tapal batas antara kedua negara, yang bisa berimbas pada persoalan sosial lainnya.

Mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendrof bahwa kenyataan konflik yang terjadi dalam kelompok masyarakat itu suatu hal yang lumrah terjadi demi terciptanya stabilitas kehidupan, dan aspek struktural dalam suatu masyarakat yang mana setiap komponennya saling berpengaruh, maka konflik atau konsensus menurut Dahrendrof bisa diselesaikan dengan adanya katup penyelamat yang bisa berasal dari kelompok dalam dan juga kelompok luar yang terlibat konflik.

Katup penyelamat yang mampu menjembatani persoalan konflik perbatasan, karena melihat otoritas dan kekuasaan yang tertinggi yang ada pada masyarakat dan pemerintah kabupaten Timor Tengah Utara karena masyarakatlah yang memahami persoalan konflik yang terjadi di wilayahnya sendiri, tanpa mengabaikan peran serta pihak lain untuk turut ambil bagian dalam persoalan konflik tapal batas kedua negara.

Tapal Batas Naktuka (Foto: merdeka.com)

Pendekatan Penelitian

Penulis (Peneliti) melakukan pendekatan dan studi kasus yang berfokus pada dinamika  konflik sosial, dan proses konflik serta melihat peran serta tokoh adat, pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi konflik sosial di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara, khususnya di beberapa titik potensi konflik yaitu di Bijaelsunan, Tubu, Nefo Nunpo, Pistana, Subina, Bah Ob/ Nelu, dengan Republik Demoktar Timor Leste khususnya Distrik Oecusse.

Penelitian ini lebih menekankan bagaimana proses konflik sosial itu terjadi, kemudian bagaimana melihat aktor-aktor di balik konflik sosial, dan apa solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan konflik sosial perbatasan. Situs penelitian adalah tempat berlangsungnya proses pengamatan objek penelitian yang akan diteliti oleh peneliti.

Situs dari penelitian ini adalah enam titik konflik yang ada di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu: Bijaelsunan/Oelnasi yang terletak di Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pistana yang terletak di Desa Sunkaen, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Subina yang terletak di Desa Inbate, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Nelu/Bah Obe yang terletak di Desa Sunsea, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.

Pendekatan penelitian dilakukan melalui tiga tahap yaitu: Tahap pertama: kajian pustaka terhadap berbagai macam riset yang sudah dilakukan di kawasan perbatasan yang disebutkan di atas, baik dari peneliti perorangan, mahasiswa dan lembaga survei. Tahap kedua: melakukan analisis dan identifikasi komponen-komponen dan aspek-aspek yang terkait dengan masalah konflik sosial yang diteliti dan mengintegrasikan dengan data yang diperoleh di lapangan. Tahap ketiga: mendeskripsikan permasalahan konflik sosial yang terjadi dan memasukan berbagai macam unsur baru yang memiliki hubungan timbal balik dengan kenyataan konflik yang terjadi pada masyarakat perbatasan.

Dinamika Konflik Di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste

Konflik yang terjadi di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecusse merupakan konflik antar masyarakat di kedua wilayah perbatasan antara tahun 2012-2013. Konflik yang terjadi pada tahun 2012 tepatnya pada tanggal 31 terjadi saling serang antara masyarakat Desa Haumeniana dengan masyarakat Pasabbe, yang dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Kantor Imigrasi dan Karantina (CQI), Timor Leste di wilayah zona netral yang disengketakan. Semua pohon di wilayah tersebut ditebang habis oleh pihak Timor Leste, dan aksi inilah yang memicu terjadinya saling serang antara kedua masyarakat perbatasan, sebelum akhirnya dilerai oleh pihak TNI dan UPF (Pasukan Pengaman Perbatasan Timor Leste).

Setelah setahun berjalan, tepatnya pada tahun 2013 juga terjadi konflik antara kedua masyarakat perbatasan, yang dipicu oleh pembangunan jalan baru yang dilakukan oleh pihak Timor Leste, yang menurut masyarakat Timor Tengah Utara jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sejauh 500 meter dan juga melewati zona bebas sejauh 50 meter. Sementara berdasarkan kesepakatan antara kedua negara pada tahun 2005, kedua negara tidak memiliki hak atas wilayah zona bebas yang sudah ditentukan.

Selain membangun jalan baru pemerintah Timor Leste juga merusak tiang-tiang perbatasan, merusak pintu gudang genset pos jaga milik Indonesia dan juga merusak sembilan kuburan leluhur masyarakat Nelu di Kabupaten Timor Tengah Utara.

Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah masyarakat Timor Leste membangun rumah dan bermukim di wilayah yang bersengketa dan hal inilah yang kurang mendapat respon yang baik dari pihak masyarakat perbatasan Indonesia karena pihak Timor Leste dianggap tidak menjalankan kesepakatan yang sudah dilaksanakan pada tahun 2005, di mana antara kedua negara tidak boleh menggunakan zona bebas.

Persoalan lain yang terjadi adalah terjadi penutupan pasar tradisional (pasar internasional), oleh pihak TNI yang bertugas di perbatasan tepatnya pada tanggal 12 Mei 2018 karena ada masyarakat yang ditangkap di Oecusse karena masuk ke Timor Leste melalui jalur ilegal, sehingga mengakibatkan jalannya perekonomian di wilayah perbatasan menjadi terhambat karena inseden tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di Desa Haumeniana diketahui bahwa kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi melainkan sudah berulang kali terjadi. Oleh karena itu persoalan terkait perbatasan perlu mendapat perhatian penting dalam menjada persaudaraan antar masyarakat yang berada di wilayah perbatasan baik itu Indonesia maupun Republik Demokrat Timor Leste.

Kesepakatan Damai Tanpa Konflik di Tapal Batas RI-RDTL (Foto: CNN Indonesia)

Peran Tokoh Adat dan Pemerintah Pusat dan Daerah

Terdapat dua kategori konflik tapal batas antara Indonesia dan Republik Demokrat Timor Leste yaitu unresolved segment dan unsurveyed segment. Daerah yang termasuk dalam kategori unresolved segment di Kabupaten Timor Tengah Utara adalah Desa Manusasi tepatnya di Bijaelsunan, Kecamatan Miomaffo Timur. Status tanahnya adalah steril dan tidak boleh dikelola oleh kedua belah pihak baik masyarakat Indonesia dan juga masyarakat Timor Leste, serta tanah ini juga belum diukur secara bersama-sama. Masyarakat masih mempermasalahkan tanah seluas 489 bidang, yang panjangnya 2,7 km, atau seluas 142,7 Ha di wilayah tersebut.

Pihak Indonesia (masyarakat Manusasi) menghendaki agar batas negara dimulai dari Tugu Bijaelsunan, mengikuti punggung gunung hingga Oben, sedangkan pihak Timor Leste (masyarakat Oecusse), menginginkan agar perbatasan dimulai dari Tugu Bijaelsunan mengikuti Lembah Sungai Miomaffo, sampai dengan Oben (Kolne, 2017). Perbedaan pendapat ini didasari oleh penjanjian adat yang sudah terjadi antara kedua belah pihak pada jaman dahulu, sehingga hingga saat ini permasalahan tersebut belum terselesaikan secara pasti dan jelas.

Sedangkan daerah yang termasuk dalam wilayah ketegori unsuveyed segment adalah segment Subina sampai dengan Oben, yang luas wilayahnya sepanjang ±14 Km, yang sebenarnya bagi masyarakat perbatasan Indonesia tanah ini menjadi hak ulayat masyarakat perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara, Kecamatan Bikomi Nilulat yang meliputi 6 Desa yaitu: Inbate, Sunkaen, Nainaban, Haumeniana, Nilulat, dan Tubu (Kolne, 2017). Masyarakat mengklaim bahwa wilayah garapan mereka diambil alih oleh pemerintah Timor Leste, jika menggunakan pembagian wilayah perbatasan berdasarkan traktat kolonial Belanda dan Portugis.

Sejauh ini upaya yang sudah dilakukan antara pemerintah dan masyarakat kedua negara adalah dengan melakukan pertemuan Technical Sub-Committe on Border Demarcation Regulation, yang membahas hal-hal teknis terkait persoalan perbatasan dan kesepakatan terakhir yang dibuat pada tahun 2017.

Kesepakatan tersebut sebagai berikut:

  1. Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah Meto.
  2. Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara.
  3. Menjalin kerja sama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
  4. Mengakui dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila, dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka.
  5. Garis batas antarnegara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana terjadi selama ini, melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan.
  6. Hasil pertemuan perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kedua negara.
  7. Mendorong pemerintah kedua negara agar memfasilitasi pertemuan serupa pada tahun 2018 di Ambenu, hal-hal teknis terkait kehadiran peserta agar tidak dipersulit.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada indikasi konflik yang penyebab utamanya adalah penetapan aturan mengenai tapal batas antara kedua negara yaitu Indonesia dengan Republik Demokrat Timor Leste. Dengan menggunakan teori konflik dari Ralf Dahrendorf  tentang konflik maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mendasar yaitu:

Pertama: konflik yang terjadi di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Distrik Oecusse adalah merupakan koflik struktural fungsional karena penetapan kebijakan terkait perbatasan sangat merugikan masyarakat setempat. Kebijakan pemerintah menetapkan pembagian batas wilayah negara dengan berdasarkan warisan dari kolonial Portugis dan Belanda ketika menjajah pulau Timor.

Kedua : Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Utara berpedoman pada hukum adat (hukum tidak tertulis) di mana telah terjadi perjanjian antara raja Miomaffo (salah satu raja besar di Kabupaten Timor Tengah dengan Raja Amu yang berasal dari Oecusse, ketika terjadi perkawinan pada tahun ±1700.

Ketiga: koordinasi dan diskusi dengan masyarakat perbatasan khususnya yang berada di Kabupaten Timor Tengah Utara tentang perbatasan untuk memperoleh imput dari masyarakat sebelum membuat kesepakatan bilateral antara kedua negara.

Tapal Batas Haumeniana (Foto: batasnegeri.com)

Penutup

Berdasarkan pembahasan mengenai konflik sosial perbatasan di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecusse dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya adalah:

  • Pertama: Dasar kesepakatan yang digunakan sebagai penetapan tapal batas antara kedua negara yang menggunakan traktat 1904 yang adalah hasil warisan dari pemerintah kolonial Portugis dan Belanda mestinya kembali ditinjau kembali, dengan mempertimbangkan kesepakatan adat yang sudah terjadi di antara kedua kelompok masyarakat di sekitar wilayah perbatasan kedua negara.
  • Kedua: Konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Distrik Oecusse merupakan konflik yang bersifat struktural, di mana konflik yang melibatkan masyarakat kedua negara adalah karena produk hukum yang disebabkan oleh pemerintah pusat yang tidak tepat sasar sehinggal menimbulkan konflik yang berkepanjangan di tengah masyarakat yang berada di perbatasan.
  • Ketiga: Konflik tersebut juga merupakan konflik fungsional di mana konflik yang terjadi juga karena adanya disfungsi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dari pemerintah pusat maupun koordinasinya dengan pemerintah daerah yang sangat lemah, sehinggal ada potensi saling melempar tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
  • Keempat: Adanya birokrasi yang sangat berbelit-belit menyebabkan tumpang-tindih tanggung jawab pengelolaan masalah perbatasan.
  • Kelima: Rekomendasi dan usulan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebagai perantara masyarakat kepada pemerintah pusat belum ditindak lanjuti secara tegas.
  • Keenam: Lemahnya perhatian pemerintah pusat terhadap pengelolaan masalah konflik tapal batas antara kedua negara, padalah perbatasan sendiri memiliki pengaruh yang sangat besar di mana wilayah perbatasan adalah pintu masuk internasional.
  • Ketujuh: Berdasarkan perspektif pendekatan budaya kedua masyarakat yang berada di perbatasan kedua negara memiliki latar belakang satu keturunan yang sama dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang juga sama.
  • Kedelapan: Melakukan pemantauan, pengamanan, penertiban kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hasil konvesi dengan negara tetangga.
  • Kesembilan: Melakukan perbaikan-perbaikan pentin terhadap produk hukum/kesepakan bilateral yang bersangkutan sehingga tidak memiliki dampak terhadap masalah politik, ekonomi, budaya, keamanan).

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang sudah disampaikan di atas maka ada beberapa rekomendasi yang perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius dalam penyelesaian persoalan konflik sosial perbatasan antara Indonesia, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Republik Demokrat Timor Leste atau Distrik Oecusse, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Pertama: Pemerintah Indonesia dalam hal ini pemerintah pusat perlu melakukan negosiasi dengan pemerintah Republik Demokrat Timor Leste dalam menyelesaikan persoalan konflik sosial tapal batas yang terjadi di 6 Desa yang berada di Kabupaten Timor Tengah Utara, yang hingga saat ini status tanahnya masih bersengketa.
  • Kedua: Perlu dilakukan dialog demi mendengarkan masukan dan saran dari masyarakat di tingkat desa, agar penyelesaian konflik sosial di perbatasan kedua negara tepat sasar, dengan mempertimbangkan kearifan lokal atau kesepatan tidak tertulis yang sudah terjadi antara masyarakat perbatasan.
  • Ketiga: Perlunya pembangunan sarana dan prasarana di wilayah perbatasan karena kondisi di wilayah perbatasan di enam desa di Kabupaten Timor Tengah Utara hingga saat ini sangat memprihatinkan.
  • Keempat: Perlu adanya dukungan anggaran baik itu dari pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah perbatasan menjadi pintu gerbang negara dan internasional.
  • Kelima: Perlu adanya perbaikan terhadap produk hukum yang berlaku terkait penetapan tapal batas agar ke depan tidak lagi terjadi korban dari masyarakat perbatasan antara kedua negara.

(Sumber: Artikel hasil penelitian Thesis Magister; disampaikan pada Diskusi Akhir Pekan Komunitas Generasi Muda Pembangun Bangsa – SIMPANG Cerdas TTU)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here