Agustinus Bau (Anggota Bawaslu Kabupaten Belu)

PEMILU: Sarana Penegakan Demokrasi dan Nomokrasi, GARDAMALAKA.COM – Dalam negara demokrasi, pemilu adalah salah satu bentuk syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujukan demokrasi. Pemilu menjadi sarana perwujudan demokrasi, karena melalui pemilu rakyat turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Pemilu menjadi bagian penting dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, kita telah berkali-kali berhasil melaksanakan penyelenggaraan pemilu dengan segala kompleksitas dan dinamika yang mengiringi prosesnya. Dan Pemilu tahun 2019 menjadi Pemilu paling kompleks dengan berbagai dinamika politiknya yang secara prosedural diaksanakan lancar dan aman.

Pemilu yang demokratis sejatinya harus selalu melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagaimana isi konstitusi, rakyat bukan hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pemilu demi menjamin integritas penyelenggara dan proses pemilu akan dilaksanakan serentak secara nasional pada Tahun 2024 .

Pemilu merupakan sarana penunjang dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan secara demokratis. Pemilu pada hakikatnya merupakan proses ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan mandat kepada para calon pemimpin untuk menjadi pemimpinnya.

Integritas penyelenggara dan proses penyelenggaraan pemilu adalah prasyarat penting, agar hasil pemilu mendapat legitimasi dari rakyat dan peserta pemilu. Dalam kaitan ini, adanya ruang untuk dilakukan pengawasan dan pemantauan pemilu menjadi sangat penting.

Pengawasan pemilu perlu dilakukan untuk menjamin terbangunnya sistem politik yang demokratis. Pengawasan pemilu diyakini dapat berkontribusi dalam proses konsolidasi demokrasi.

Dengan adanya pengawasan, kualitas pemilu bisa mendapatkan kepercayaan dari aktor politik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pengawasan dapat memastikan asas-asas penyelenggaraan pemilu dapat ditegakkan guna terwujudnya demokrasi.

Pengawasan memastikan pelaksanaan proses sudah semestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangn yang berlaku dan pengawasan dapat melakukan tindakan berupa proses penanganan pelanggaran bagi para pelaku yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dengan produk endingnya adalah rekomendasi dan putusan.

Pengawasan menjadi sangat penting dan strategis dalam mewujudkan demokrasi dalam suatu proses Pemilu. Dalam kaitan dengan itu, Bawaslu sebagai lembaga Negara secara institusional yang diamatkan untuk melakukan fungsi pengawasan berhadapan dengan penegakan kedaulatan rakyat dan menegakan kedaulatan hokum.

Pemilu secara normatif dideskripsikan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat unutk memilih DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pilkada adalah perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala Daerah.

Kedua jenis Pemilihan ini secara substantif merupakan implementasi kekuasaan rakyat yang berbeda pada cakupan/ruang lingkupnya. Pemilu mencakup wilayah secara nasional seluruh indonesia dan untuk memilih Pemimpin Nasional dan legislatif, sedangkan Pilkada mencakup wilayah bagian-bagian/daerah tertentu dari wilayah Indonesia untuk mimilih Pemimpin di daerah.

Dalam persprektif Pilkada tahun 2020, penulis menitikberatkan pada substansi daripada kontestasi politik yang terwujud dalam suatu proses Pemilihan yang sering dikenal sebagai pesta demokrasi. Pendasaran ini dilatarbelakangi oleh karena menurut penulis, pesta demokrasi di Indonesia adalah prosedural elektoral, sekedar melaksanakan proses sesuai tahapan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dari awal sampai dengan akhir.

Melaksanakan seluruh tahapan Pemilu/pemilihan secara lancar itulah yang dikatakan pesta demokrasi atau pemilu sukses. Pemahaman seperti ini adalah dapat disebut gagal paham karena Pemilihan adalah perwujudan kedaulatan rakyat, kekuasaan ada di tangan rakyat dengan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan bersama yang disebut  common good, kebaikan umum (Bonnun commune).

Salah satu cara atau jalan rakyat menyatakan kuasanya di Indonesia adalah melalui Pemilu yang sudah diatur dalam konstitusi UUD 1945. Sebagai amanah konstitusi maka kedaulatan rakyat harus ditegakkan dalam proses pemilu.

Kedaulatan rakyat menjadi esensi daripada suatu proses Pemilu karena di dalamnya terdapat kehendak rakyat, kebebasan individu rakyat, kesamaaan derajat, dan kesejahteraan bersama. Akan tetapi penerapan kedaulatan harus dikawal dengan hukum agar proses dapat berjalan tertib, tidak sewenang-wenang.

Kedaulatan rakyat atau demokrasi dan nomokrasi harus beriringan seperti dua sisi mata uang dalam proses Pemilu. Dalam mengawal demokrasi maka perlu nomokrasi yang terwujud dalam instrument hukum, baik norma-norma maupun aparat penegak hukum.

Dan dalam tulisan ini, penulis mengemukakan Bawaslu sebagai perwujudan nomokrasi untuk dapat mengakkan kedaulatan raykyat. Penulis mencermati dan menilai bahwa Bawaslu adalah perwujudan nomokrasi sebagai  penegak demokrasi yang sejati.

Implementasi Demokrasi dan Nomokrasi dalam Pilkada 2020

Berbagai perubahan radikal telah dilakukan oleh bangsa ini pasca Orde Baru. Kehidupan demokrasi diwujudkan dalam bentuk pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, juga pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi yang telah berumur 13 tahun, muncul pertanyaan kritis: Apakah demokrasi di Indonesia sudah terwujud?

Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2000) merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika (a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih; (b) jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas; (c) jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain.

Secara umum adanya proses elektoral (pemilu) bisa dijadikan ukuran pemerintahan yang demokratis. Tetapi elektoral tidak cukup dijadikan sepenuhnya sebagai prasyarat murni dari demokrasi karena di dalam demokrasi terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang substansial yaitu adanya jaminan kebebasan dan hak-hak masyarakat sipil.

Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekadar prasyarat prosedural bagi suatu demokrasi. Di dalam kasusnya, banyak negara-negara yang menggunakan proses elektoral tetapi terkadang belum menjamin adanya kebebasan dan hak-hak sipil. Jadi demokrasi bukan saja terkait dengan sebuah prosedur yaitu pemilu untuk memilih penguasa, tetapi terkait pula dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu kebebasan dan hak-hak masyarakat sipil.

Senada dengan hal ini, Mahmud MD dalam Lecturer Series on Democracy menegaskan bahwa demokrasi post-orde baru masih sebatas prosedural. Artinya demokrasi sudah termanifestasi dalam bentuk lembaga-lembaga formal pemerintahan, pemilu, pemilukada tetapi belum memberikan dampak konkrit terhadap perbaikan kondisi sosial, ekonomi, politik masyarakat.

Demokrasi negeri ini hanya menampilkan dagelan-dagelan politik di atas penderitaan rakyat. Para demagog menyandera demokrasi hanya untuk kepentingan elit-elit politik bukan kepentingan masyarakat.

Para demagog menebar janji untuk membangun kesejahteraan masyarakat, menggratiskan pendidikan, menjamin pengobatan asalkan dipilih dalam pemilihan. Namun setelah terpilih, mereka ingkar janji dan tidak berbuat apa-apa, malahan banyak yang menghianati rakyat.

Demokrasi kita telah dibengkokkan oleh para elit politik menuju kehancuran. Pemilu yang demokratis sejatinya harus selalu melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagaimana isi konstitusi, rakyat bukan hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pemilu demi menjamin integritas penyelenggara dan proses pemilu.

Berharap Pada Kedaulatan Hukum (Nomokrasi)

Mahfud MD secara eksplisit menegaskan bahwa kualitas demokrasi Indonesia akan sampai pada tahapan konsolidasi jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen pada aturan main demokrasi. Semua pihak di negara ini harus percaya bahwa system demokrasi layak dan patut untuk dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam kerangka norma maupun tindakan.

Lebih lanjut Mahmud MD mewartakan bahwa aturan main demokrasi secara tegas diatur oleh konstitusi. Ekses dari transisi demokrasi bisa diatasi dengan nomokrasi (kedaulatan hukum). Nomokrasi yang akarnya bisa kita lacak dari pemikir klasik dan modern, merupakan gagasan yang melihat prinsip hukum atau kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Meminjam istilah F. Hayek, tidak ada demokrasi tanpa hukum. Di bawah kedaulatan hukum (rule of law) transisi demokrasi akan bermuara pada demokrasi yang terkonsolidasi.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan frasa “dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (nomokrasi).

Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di dalam Pasal 1 aya t (3) yang menegaskan, “Indonesia adalah negara hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegakkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting.

Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan menimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang”. Makna dari adagium itu, demokrasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena semuanya bisa bertindak sendiri-sendiri berdasar kekuatannya.

Negeri kita, sejak kelahirannya sudah memproklamirkan diri sebagai Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat) sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945. Secara tegas tersurat dalam pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.

Istilah lain menyebut Indonesia sebagai negara “nomokrasi”. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan negara dengan norma atau hukum. Nomokrasi dapat dimaknai sebagai kedaulatan hukum atau hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Hukum yang berkuasa atau “rule of law”, “hukum yang berkuasa” , bukan “kekuasaan” yang “menguasai” hukum di negaranya.

Ekspresi kedaulatan rakyat, kedaulatan kita semua, dengan satu warga satu hak suara (one man, one vote) harus kita kawal sehinga dapat berjalan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) serta JURDIL (Jujur dan Adil).

Prinsip-prinsip ini harus dilakukan secara baik dan benar untuk mengembalikan kepada hakikat demokrasi itu sendiri, di mana rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Begitu pun dalam pileg dan pilpres, otomatis rakyat sebagai penentunya. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Jika dalam pelaksanaan pesta demokrasi, terdapat pelanggaran hukum seperti kecurangan yang signifikan, maka nomokrasi harus segera beraksi. Jika berjalannya waktu terdapat pimpinan parpol peserta pemilu, caleg atau pun tim sukses terlibat pelanggaran hukum maka proses hukum tanpa harus menunggu selesainya agenda politik. Dengan begitu proses demokrasi tidak terhenti, sementara penegakan hukum sebagai perwujudan prinsip nomokrasi, berjalan tanpa hambatan.

Supremasi hukum memang menghendaki ketegasan penindakan. Meski begitu bukan lantas menjadi tak terkendali. Perlu filter yang disebut demokrasi. Sebab, hukum tanpa demokrasi menjadi zalim dan cenderung sewenang-wenang.

Produk hukum harus dibuat secara demokratis, menyerap aspirasi masyarakat, membuka peluang kepada rakyat agar hak-haknya sebagai warga negara dapat tertampung di dalamnya. Sebaliknya proses demokrasi perlu dikawal oleh hukum agar kedaulatan rakyat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Intinya demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) harus diterapkan seiring sejalan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang.

Dalam perspektif politik hukum disebutkan bahwa hukum dibuat secara demokratis, melalui sebuah proses politik. Karena itu sudah seharusnya keputusan politik pun wajib tunduk kepada produk hukum yang telah dibuatnya. Politik tidak boleh mengintervensi hukum, sebaliknya hukum juga tidak boleh digunakan sewenang-wenang.

Dalam menegakkan negara hukum hendaklah dikembangkan sesuai prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat. Tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan kekuasaan belaka

Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.

Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.

Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”, yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.

Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat atau democratie (democracy). Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat.

Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama.

Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu, pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya, sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’.

Dalam kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).

Namun demikian, harus pula ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.

Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat). Prinsip Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi. Bahkan, dalam sistem presidensil yang dikembangkan, konstitusi itulah yang pada hakikatnya merupakan Kepala Negara Republik Indonesia yang bersifat simbolik (symbolic head of state), dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai penyangga atau ‘the guardian of the Indonesian constitution’.

Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Tentu saja kedaulatan hukum harus bersumber pada falsafah bangsa yaitu Pancasila. Pancasila sebagai koridor, cita dan dasar hukum dari setiap hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila bisa menjadi penyeimbang pelaksanaan demokrasi.

Dalam rangka konsolidasi demokrasi setiap hukum yang akan dibuat dan diberlakukan harus selalu berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Selain itu, hukum juga harus bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu membangun segenap kehidupan bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang (Satjipto Raharjo, 2005).

Hal ini sesuai dengan adagium yang dikemukakan oleh Cicero, yaitu “ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

Agustinus Bau (Anggota Bawaslu Kabupaten Belu)

Penulis: Agustinus Bau (Anggota Bawaslu Kabupaten Belu)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here