Pertunangan di Malaka dalam Balutan Busana Adat (Foto: Dok. Eus K)

Hanimak“, Tradisi Berpacaran di Malaka yang Sudah Lama Hilang, GARDAMALAKA.COM – Gaya berpacaran zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda.

Dahulu laki-laki mendatangi langsung rumah perempuan untuk berpacaran (berceritra, bersendagurau, dan banyak hal lain), tapi sekarang orang-orang lebih memilih berpacaran di luar rumah setelah janjian melalui media sosial.

Dahulu surat dipakai sebagai media untuk menyampaikan pesan rindu dan kasih sayang, sekarang cukup menggunakan pesan media sosial, telpon, video call dan lain sebagainya.

Tradisi Pertunangan dalam Balutan Busana Adat Malaka (Foto: Dok. Ida Sncz)

Dijumpai pergeseran yang bermakna, peralihan yang sangat signifikan. Namun begitulah realita.

Benar anggapan, budaya itu dinamis. Akan tetapi sedinamis inikah? Hingga tradisi yang baik ditinggalkan dan memaparkan diri dengan kebiasaan zaman sekarang (kenalan lewat medsos, janjian, ketemuan, kencan, dan kawin tidak sah) yang bakal ditradisikan, serta diwariskan ke anak cucu padahal jauh dari nilai baik?

Tradisi berpacaran dikenal ada di berbagai belahan dunia. Semua berkembang sesuai kemajuan daerah dan peradaban penduduknya.

Berbagai tradisi pacaran/pencarian jodoh yang dikenal di berbagai belahan dunia, sebagai berikut.

1. Kompetisi Menggaet Jodoh Yunani Kuno.

Dijelaskan, di zaman Yunani dan Romawi kuno, perempuan kalangan elite umumnya tak punya kebebasan memilih calon suami. Biasanya sang ayah akan memilihkan jodoh untuk anak perempuannya. Jika ada beberapa pria yang berminat, para kandidat akan berlomba dengan memberi sejumlah uang. Semakin tinggi nominalnya, semakin tingi pula kesempatan kandidat mendapatkan jodohnya.

2. Tradisi meraut Sendok Cinta di Wales

Dikisahkan, pada abad 17 di Wales, perempuan dapat dicuri hatinya dengan dibuatkan love spoon (senduk cinta). Bentuknya bermacam-macam; setiap bentuk memiliki arti tersendiri, tergantung apa pesan yang ingin disampaikan seorang laki-laki.

3. Tradisi Tidur Bersama di Dalam Karung

Dikenal dengan sebutan bundling atau sack cuddling yang cukup populer di Belanda sekitar abad 19. Tradisi ini kemudian meluas ke Britania dan Pennsylvania.

4. Tradisi Garewol di Afrika

Tradisi ini sebagai cara unik para pria suku Wodaabe di Afrika untuk memikat hati wanita. Mereka akan mengenakan makeup dan menari di festival pencarian jodoh yang disebut Garewol. Selama seminggu, kaum laki-laki berlomba untuk menghadirkan riasan dan tarian terbaik bagi penonton yang sebagian besar perempuan.

5. Kode Kipas di Eropa

Pada abad 18-19 di Eropa, kipas jadi benda yang wajib dimiliki kaum hawa. Menariknya, benda ini tidak hanya dipakai mengibas angin saat merasa gerah. Wanita Eropa kala itu mengembangkan “bahasa kipas” untuk berkomunikasi dengan lawan jenis tanpa harus membuka mulut.

6. Tradisi “Ngelancong” di Jakarta

Pada awal abad 19, pemuda Jakarta melakukan apa yang disebut “ngelancong” (sekarang apel) ke rumah si gadis. Pada saat negelancong seorang laki-laki tidak akan bisa langsung menemui pujaan hatinya. Si pemuda hanya boleh ditemani oleh calon mertuanya saat ngelancong.

Sedangkan Si perempuan hanya boleh bertemu dengan calon suaminya dengan mengintip dari celah-celah jendela di sebelah dalam pintu rumah. Sementara si pemuda tetap tinggal di beranda luar sambil sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela. Ngelancong yang dilakukan tiap malam itu tidak boleh berlarut-larut.

7. Tradisi “Hanimak” di Daerah Malaka

Untuk poin ketujuh ini akan dibahas khusus.

Personil Tarian “Bidu” Malaka (Foto: Dok. Pribadi)

Hanimak adalah budaya atau tradisi untuk berpacaran dan mencari jodoh. Tradisi ini telah dilakukan oleh masayarakat kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak zaman dahulu.

Hanimak merupakan salah satu tradisi masyarakat Kabupaten Malaka yang sangat kental bagi kaum muda-mudi untuk mencari jodoh. Hanimak sendiri merupakan proses perkenalan secara sopan, etis dan sangat romatis yang dilakukan sang pria dan wanita atas restu orang tua.

Sebelumnya, kaum lelaki dan perempuan akan saling bertemu dan berkenalan. Biasanya acara Bidu sebagai kesempatan untuk mulai memadu hati. Ini adalah tahap pertama di mana kaum muda-mudi mulai berkenalan antara satu sama lain.

Pada saat tarian Bidu berlangsung, Sang pria mulai melihat/melirik calon kekasih hatinya dan meraka mulai berkenalan dan membuat janji untuk bertemu. (Bidu adalah tarian warisan secara turun temurun oleh masyarakat Malaka yang sangat familiar dan dikenal di daratan NTT).

Anggota tarian “Bidu” Malaka (Foto: Dok. Angela LK)

Setelah berkenalan dan menemukan kecocokan maka mereka akan menuju ke proses berikutnya, yaitu disebut Binor. Dijelaskan, binor adalah pertemuan antara pria dan wanita untuk saling menukar tempat sirih pinang, kain atau selendang, dan lain sebagainya.

Proses ini akan berlangsung pada malam hari dan si gadis tidak bertemu pria secara langsung karena si gadis harus berada di “Odamatan Lor” (pintu rumah adat di bagian sisi Utara), sehingga si gadis akan dikenal dengan sebutan khas orang Malaka “Bete Loka Laran” (Loka: sebuah tempat berbentuk persegi panjang di dalam rumah panggung/rumah adat, yang dibuat sebagai ruang/kamar tidur si gadis. Bete Loka Laran: perempuan di balik ruang tidur).

Percakapan meraka sungguh menarik karena keduanya akan saling membalas “Kananuk” (Pantun).

Setelah melalui beberapa proses ini sampailah ke puncak hanimak, yaitu peminangan atau yang disebut “Mama Lulik”.

Proses ini menjadi tahap terakhir dari tradisi hanimak kerena kedua mempelai sudah dipertemukan dan disatukan oleh ikatan adat kedua belah pihak dan siap menuju ke pelaminan.

Pertunangan secara Adat di Malaka (Foto: Dok. Nina Dc)
Tradisi Pertunangan dalam Balutan Busana Adat Malaka (Foto: Dok. Nina Dc)

Namun sayang, seiring berkembangnya zaman ditunjang kemajuan teknologi informasi, tradisi ini mulai menghilang. Mungkin di beberapa wilayah di Malaka masih dipertahankan, namun di sejumlah besar wilayah Malaka hanimak sudah kehilangan bentuk asli. Tidak ada lagi tradisi ini dalam tahap-tahap menuju/sebelum peminangan.

Meski demikian, hanimak masih menjadi cerita yang hidup terutama bagi para orang tua yang hidup zaman dahulu, dan yang terakhir menikah di era 1990-an awal.

Akankah hanimak dihidupkan lagi di zaman yang telah terpapar kemajuan teknologi dan informasi ini?

*) Dari berbagai sumber

Penulis: Gilberto T. Klau
(Mahasiswa Semester VIII Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Timor)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here