
Oleh: Kondradus Y. Klau
(Alumnus Sekolah Demokrasi Belu Angkatan III)
Netralitas ASN: Sebuah Kerangka Konseptual, GARDAMALAKA.COM – Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan sebuah hal menarik yang diperbincangkan di hampir setiap perhelatan pemilihan umum/kepala daerah/walikota. Ia selalu menjadi empuk untuk dibahas dan nikmat untuk ditelusuri. Hal ini ditandai dengan pelaporan kasus-kasus dugaan pelanggaran yang sering diterima komisi ASN.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber, dihadirkan ke ruang pembaca sekalian sebagai referensi agar pembaca dapat memahami posisi ASN dalam setiap momentum politik.
Setelah membaca tulisan ini, pembaca diharapkan memiliki gambaran tentang konsep netralitas ASN dan bagaimana seharusnya ASN memosisikan diri dalam keberadaannya sebagai pelayan publik.
Konsep Netralitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) netralitas adalah keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak, atau bebas. Menurut Mokhsen (2018) netralitas ASN mengandung makna impartiality yaitu bebas kepentingan, bebas intervensi, bebas pengaruh, adil, objektif, dan tidak memihak.
Marbun dalam Hartini (2009) mengungkapkan, netralitas adalah bebasnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu atau tidak memihak untuk kepentingan partai politik tertentu atau tidak berperan dalam proses politik.
Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan Pilkada, netralitas dapat didefenisikan sebagai perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat yang ditunjukkan birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pilkada baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
Menurut Yamin (2013), terdapat dua indikator utama dari netralitas politik, yaitu:
- Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye atau menjadi peserta kampanye baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.
- Tidak memihak, dalam arti tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat, serta tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu calon pasangan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye.
Menurut Prof. Dr. Eko Prasojo (2018), netralitas adalah sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Esensi Netralitas adalah:
- Komitmen, integritas moral dan tanggungjawab pada pelayanan publik
- Menjalankan tugas secara professional dan tidak berpihak
- Tidak melakukan pelanggaran konflik kepentingan dalam tugasnya
- Tidak menyalahgunakan tugas, status, kekuasaan dan jabatannya.
Sementara Martini (2015), lebih mengaitkan dengan netralitas birokrasi dan menyebutkan bahwa Netralitas birokrasi yakni menempatkan pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan politik. Kenetralan birokrasi penting untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien.
Dalam perkembangan konsep netralitas birokrasi telah lama menjadi perdebatan oleh para pakar. Garis tegas telah memisahkan dua kelompok yakni menyangkut netralitas birokrasi dalam politik dan birokrasi memihak pada kekuatan dominan.
Pandangan birokrasi harus netral dari pengaruh politik dipelopori antara lain oleh W. Wilson dan Hegel, sedangkan yang sebaliknya dipelopori antara lain oleh Karl Marx, James Svara dan Goerge Edward II.
Pandangan kelompok Wilson didasarkan birokrasi hanya sebagai pelaksana kebijakan yang tidak boleh mengambil kebijakan politik. Sedangkan kelompok lainnya mempertanyakan apakah birokrasi harus netral bila selalu dalam kehidupan politik, sehingga birokrasi harus memihak pada pihak dominan.
Pada sisi lain, Francis Rourke berpendapat bahwa birokrasi dapat berperan membuat kebijakan politik dan melaksanakannya. Hal ini diperkuat pendapat Rourke bahwa netralisasi birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin. Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. (Toha, 1993).
Banyak virus yang terus menggerogotinya, seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya mereka merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik.
Sejauh ini definisi dan kerangka konseptual tentang netralitas ASN masih sangat dominan dikaitkan dengan aspek politik. Padahal jika mengacu kepada konsep dasar netralitas yaitu imparsialitas, maka cakupannya akan lebih luas.
Menurut Effendi (2018) Netralitas mengacu pada imparsial yang artinya itu adil, obyektif, tidak bias dan tidak berpihak pada siapapun, tidak hanya dalam politik, tapi juga dalam pelayanan publik (tidak diskriminatif), pembuatan kebijakan (tidak berpihak pada kelompok tertentu), dan manajemen ASN (menerapkan merit sistem)”.
Secara lebih rinci, Netralitas memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
- Netralitas dalam politik
- Netralitas dalam pelayanan publik
- Netralitas dalam manajemen ASN
- Netralitas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
Netralitas ASN: Apa Pentingya?
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, penyelenggara pelayanan publik; dan perekat dan pemersatu bangsa. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pegawai ASN diberi kewenangan mengelola keuangan dan aset negara, menggunakan fasilitas negara serta membuat kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas. Agar kewenangan tersebut tidak disalahgunakan dan hanya menguntungkan kelompok tertentu maka pegawai ASN harus bersikap netral.
Pegawai ASN tidak diperbolehkan menggunakan uang dan aset negara untuk kepentingan kelompok tertentu. Pegawai ASN juga dilarang membuat kebijakan yang bersifat diskriminatif dan mengutamakan pelayanan hanya kepada kelompok tertentu saja.
Selain itu, pegawai ASN yang memiliki posisi penting di birokrasi pemerintah juga sering menjadi panutan masyarakat. Apabila pegawai ASN diperbolehkan menunjukkan dukungan kepada peserta dalam Pemilu maka dikhawatirkan penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pelayanan publik akan terpengaruh oleh politik praktis yang dapat menimbulkan ketidakadilan di kalangan masyarakat.
Oleh sebab itu pegawai ASN diharapkan tidak terlibat dalam politik praktis. Netralitas pegawai ASN sangat penting dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik serta birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. S. Effendi: “ASN itu harus netral (impartial), tidak boleh berpihak dan tidak boleh memihak dalam melaksanakan tugas dan fungsinya”.
Menurut Komisioner Ombudsman RI 2016-2021, La Ode Ida, yang menangani pengaduan berkaitan dengan SDM Aparatur menyampaikan bahwa pentingnya netralitas ASN adalah:
- Wujud substansi pelayanan;
- Terwujudnya profesionalisme birokrasi, yaitu ASN sebagai inti birokrasi yang melayani;
- Terciptanya kenyamanan kerja ASN;
- Tegaknya hukum yang berkeadilan;
Rakmawanto (2007) dalam Firnas (2016) menyebutkan bahwa netralitas birokrasi diperlukan agar memastikan kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan berorientasi kepada pelayanan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya. Mengingat tugas birokrasi ini sangat vital dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publik, maka profesionalisme birokrasi mutlak menjadi ruh, derap, dan langkah setiap aparat birokrasi. Politisasi birokrasi dalam kancah politik praktis sesaat jelas merusak tatanan birokrasi profesional yang diidamkan.
Zuhro (2016) menyampaikan pentingnya netralitas birokrasi adalah karena:
- Membangun iklim demokrasi yang sehat, tidak menyeret birokrasi ke dalam politik;
- Memunculkan pluralisme birokrasi karena format kebijakan lebih merupakan hasil kompetisi aktor aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasinya jika netralitas birokrasi terwujud dengan baik adalah terbukanya peluang untuk mempengaruhi kebijakan dan relatif meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah masalah yang ada di tengah masyarakat (public affairs);
- Mendorong terwujudnya good governance. Terwujudnya good governance di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berhasil tidaknya kinerja birokrasi. Keduanya mempunyai korelasi yang positif dalam arti saling memengaruhi. Kinerja birokrasi dan pemberdayaan masyarakat yang semakin bagus akan berpengaruh positif terhadap pembangunan.
Zuhro (2008) juga pernah menyebutkan bahwa netralitas birokrasi akan mendorong pelaksanaan otonomi daerah dan peningkatan perekonomian daerah. Roda pembangunan ekonomi daerah digerakkan oleh mesin birokrasi, sebagai mesin yang sangat vital, birokrasi biasanya memiliki sistem dan standar kerja baku sebagai syarat untuk bisa menjadi professional.
Untuk itu perlu diciptakan sistem dan standar kerja birokrasi dari pusat sampai daerah. Gangguan terhadap sistem dan standar kerja akan menimbulkan distorsi hebat dalam efisiensi dan efektivitas sebuah pemerintahan.
Netralitas ASN: Apa Landasan Hukumnya?
1. Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
- Pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah “Netralitas”. Asas Netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
- Pasal 87 ayat 4 huruf b, menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
- Pasal 119 dan Pasal 123 ayat 3, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIII/2014 Tanggal 6 Juli 2015, “PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota”. PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut dijatuhi sanksi hukuman disiplin.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
- Pasal 70 ayat 1 huruf b
Pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Anggota Tentara Nasional Indonesia.
- Pasal 70 ayat 1 huruf c
Pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan.
- Pasal 71 ayat 1
Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara, Anggota Tni/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon
- Pasal 71 ayat 2
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian Pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
- Pasal 71 ayat 3
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
- Pasal 71 ayat 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
3. PP Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
- Pasal 11 huruf c menyatakan bahwa dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.
- PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
- PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
- PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
- PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik.
- PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, visi-misi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, maupun keterkaitan lain dengan bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media Online maupun media sosial.
- PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan.
- PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
- Berdasarkan Pasal 15 ayat (1), menyatakan bahwa terhadap pelanggaran tersebut pada angka 1 dikenakan sanksi moral.
- Berdasarkan Pasal 16, menyatakan bahwa atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE) PNS yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
- Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat berupa sanksi hukuman disiplin ringan maupun hukuman disiplin berat sesuai dengan pertimbangan Tim Pemeriksa.
- Penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada angka 4 tetap dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
- Dalam hal PNS yang diduga melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah PNS selain Sekretaris Daerah, pembentukan Majelis Kode Etik dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi PNS yang bersangkutan.
- Dalam hal PNS yang diduga melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud pada angka 6 adalah Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, pembentukan Majelis Kode Etik dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
- Dalam hal PNS yang diduga melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah Sekretaris Daerah Provinsi, pembentukan Majelis Kode Etik dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pasal 4
a) angka 12, memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
- ikut serta sebagai pelaksana kampanye
- menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS
- sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain dan atau
- sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara
b) angka 13, memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
- membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan atau
- mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
c) angka 14, memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon KepalaDaerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan.
d) angka 15, memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
- terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukungcalon KepalaDaerah/Wakil Kepala Daerah;
- menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye
- membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
- mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pasal 12
a) angka 8, memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
b) angka 9, memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d
c. Pasal 13
a) angka 13, memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
Pelanggaran Netralitas ASN: Apa Faktor Penyebabnya?
Menurut hasil survey yang sudah dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia, terdapat beberapa faktor penyebab ASN tidak netral, antara lain:
1) Motif Mendapatkan/Mempertahankan Jabatan (43.4%).
Patronasi politik terjadi karena Kepala Daerah adalah pejabat politik yang sekaligus menjabat sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). PPK memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mempromosikan, memutasi, mendemosi pegawai ASN. Hal ini mengakibatkan pegawai ASN dalam situasi dilematis. Di satu sisi, mereka harus bersikap netral dalam arti tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kepala daerah yang meminta
dukungan pada saat pelaksanaan Pilkada, di sisi lain, karier mereka berada di tangan kepala daerah.
2) Adanya hubungan primordial (15.4%).
Pelanggaran ASN terhadap asas netralitas juga dipicu oleh hubungan kekeluargaan, kesamaan pejabat politik, baik hubungan di dalam organisasi maupun di luar organisasi yang mengganggu profesionalisme dalam menjalankan tugas. Dampak dari primordialisme adalah lemahnya penegakan asas netralitas, PPK tidak menindaklanjuti dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN, termasuk tidak melaksanakan rekomendasi yang sudah diberikan KASN.
3) Ketidakpahaman terhadap regulasi berkaitan dengan Netralitas (12.1%).
Beberapa pegawai ASN menyatakan bahwa mereka belum mengetahui dan memahami peraturan berkaitan dengan netralitas ASN yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokarasi (PAN-RB) tahun 2016 dan KASN tahun 2017. Sosialisasi terkait peraturan tersebut telah dilakukan oleh KASN bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, dan Bawaslu sejak tahun 2016, namun masih banyak pegawai ASN yang belum memahami ketentuan yang ada karena tidak disosialisasikan kembali di internal instansinya masing-masing.
4) Faktor lain seperti adanya tekanan dari atasan (7.7%); rendahnya integritas ASN (5.5%); anggapan ketidaknetralan adalah sebagai hal lumrah (4.9%); dan sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera (2.7%).
Berdasarkan beberapa faktor tersebut pembaca dapat menilai mengapa di setiap momentum pemilihan terdapat banyak ASN yang bersikap tidak netral; dengan tahu dan mau, penuh kesadaran cenderung mendukung/memihak salah satu kekuatan calon/kandidat.
Pelanggaran Netralitas ASN: Apa Kendala Penerapan Asas Netralitas?
Dalam upaya menciptakan netralitas ASN masih saja terdapat kendala yang muncul, antara lain:
1. Kendala di Tingkat Makro
Patronasi politik menghambat penerapan asas netralitas ASN. Sistem politik yang berlaku menelan biaya yang sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan para calon kepala daerah/pejabat politik harus memiliki modal yang cukup banyak untuk dapat memenangkan pemilu. Pejabat politik khususnya kepala daerah yang terpilih memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mengelola sumber daya ASN. Faktor ini sangat memungkinkan bagi mereka menggunakan kekuasaan tersebut dengan memobilisasi dukungan pegawai ASN yang mempunyai kewenangan atas anggaran dan asset negara/daerah. Akibatnya pegawai ASN sulit untuk bersikap netral.
2. Kendala di Tingkat Mikro
Kendala di tingkat mikro dalam menegakkan asas netralitas antara lain adalah sebagai berikut:
a) Mindset pegawai ASN yang cenderung berpihak pada atasan yang diwariskan oleh birokrasi politik pada era pemerintahan orde baru. Banyak ASN tidak memahami prinsip-prinsip netralitas dan tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan melanggar ketentuan yang berlaku.
b) Kesadaran pegawai ASN yang masih rendah akan pentingnya bersikap netral dalam menyelenggarakan pemerintahanan, pembangunan, dan pelayanan publik serta menganggap keberpihakan merupakan sesuatu yang lumrah.
c) Sikap sebagian pegawai ASN yang lebih mengutamakan cara mudah dalam mencapai karier yang lebih tinggi dengan menunjukkan loyalitas kepada atasan dari pada menunjukkan profesionalitas dan kinerja.
d) Keengganan masyarakat dalam melaporkan pelanggaran netralitas ASN karena ketidaktahuan ataupun faktor budaya yang membuat pengawasan masyarakat tidak berfungsi secara efektif. Masyarakat Indonesia yang enggan untuk melaporkan kasus pelanggaran netralitas yang ada di lingkungan terdekatnya bisa dikatakan juga sebagai permasalahan tersendiri dalam sistem pengawasan netralitas ASN. Diskusi dengan para ASN di Universitas Padjadjaran-Bandung mengindikasikan adanya keengganan masyarakat ini. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal ini dapat terjadi, yaitu:
- Kultur masyarakat Indonesia yang “merasa tidak enak” kepada sesama rekan kerja/tetangga/kerabat, dianggapnya jika melaporkan pelanggaran netralitas yang terjadi di lingkungan terdekatnya akan merusak hubungan yang selama ini terjalin, ataupun alasan emosional lainnya. Banyak kasus pelanggaran netralitas ASN tidak terungkap karena kultur ini.
- Pelanggaran netralitas ASN dianggap sebagai hal lumrah. Masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap kasus pelanggaran netralitas yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai hal biasa dan tidak perlu dibesar besarkan termasuk tidak perlu dilaporkan kepada lembaga terkait.
e) Sistem pengawasan terhadap pelanggaran netralitas ASN yang belum optimal yang disebabkan terbatasnya kemampuan KASN yang tidak mempunyai perwakilan di daerah dan hanya didukung oleh pegawai dan anggaran dalam jumlah yang terbatas.
f) Rekomendasi KASN diabaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Akibatnya pemberian sanksi kepada ASN yang melakukan pelanggaran menjadi tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera.
Solusi Antisipasi dan Penindakan Sanksi Pelanggaran Netralitas ASN yang Dapat Dibangun
1. Kolaborasi Antar Lembaga sebagai Tindakan Antisipatif.
Dalam pengawasan netralitas ASN terdapat instansi selain KASN yang memiliki keterkaitan dalam pengawasan netralitas ASN, bisa dalam tugas, fungsi, objek yang diawasi, dan kewenangan. Lembaga tersebut adalah KemenPANRB, BKN, Bawaslu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Lembaga-lembaga tersebut dapat memberikan peringatan dan himbauan agar ASN memosisikan diri dengan benar, sedapat mungkin tidak terlibat politik paktis melalui edaran-edaran.
2. Pelaporan sebagai Langkah Antisipatif.
Laporan dimaksud dapat dilakukan oleh masyarakat, Bawaslu, Ombudsman, dan internal KASN sebagai langkah antisipatif dan atau penindakan pelanggaran.
3. Penindakan Sanksi Terhadap ASN Pelanggar Netralitas
Setelah ada tindakan antisipasi, ASN yang melanggar netralitas dapat diberi tindakan sanksi oleh lembaga-lembaga terkait, sebagai berikut:
a. BKN bekerja sama dengan KASN melakukan tracking pelanggaran netralitas bagi ASN di Indonesia.
b. Kemendagri bekerjasama dengan KASN memberikan penekanan kepada PPK dalam melakukan tindaklanjut atas rekomendasi yang sudah diberikan.
Demikian sajian kerangka konseptual terkait netralitas ASN. Kiranya menjadi bahan bacaan yang menambah refensi pembaca dalam upaya bersama menjaga dan merawat sehatnya demokrasi di negara Indonesia tercinta.