Elegi Cinta Beda Agama (Foto: Siluet unycommunity.com)

Elegi Cinta Beda Agama
(Kisah Nyata), GARDAMALAKA.COM – Udara sejuk senja di pinggiran kota Pemalang menemani sang musafir jalanan merenung kisah yang bergejolak dalam dilema cinta dan pilihan hidup.

Di Kota iklhas ini, sang pengembara dari timur Ibu pertiwi sempat merasakan sempurnanya hidup sebagai lelaki, walau hanya sementara.

Pemalang adalah salah satu kota dari ‘REPUBLIK NGAPAK’ tanah Jawa, yang mana dikenal sebagai kota Iklhas di Pantura Jawa.

Di sini, Morgan mengabiskan waktu 2 tahun menjalin kisah asmara yang penuh elegi suka duka.

Di kota itu, Morgan sang kuli jalanan menemukan dambaan hati yang berbeda keyakinan.

Adalah Alinda sang pujaan hatinya yang soleha sebagai santri di desanya Klareyan, Petarukan, Pemalang.
Gadis Desa nan polos, namun anggun sebagai santri dan taat beribadah. Gadis turunan keraton Surakarta ini adalah anak yatim yang mandiri lahir batin.

Morgan, lelaki timur turunan Thionghoa adalah musafir jalanan yang sempat berpijak di kota Pemalang sebagai kuli proyek yang taat beribadah sebagai Katolik tulen, laskar Kristus.

Dua insan ini bertemu dan bersatu atas dasar cinta. Paham yang diterapkan saat itu adalah cinta kasih. Teologi Katolik yang dianut Morgan adalah hukum Cinta Kasih. Mengenai cinta, Morgan memilih sesuai naluri tanpa embel-embel agama.

Elegi Cinta Beda Agama (Foto: Siluet unycommunity.com)

27 DESEMBER 2016

Pertemuan pertama saat itu. Dusun Sewaka menjadi saksi bisu, awal benih cinta itu mulai ada. Alinda datang bersama Bos-nya bertemu Morgan yang seorang Pelaksana Proyek jalan Toll Pejagan-Pemalang. Saat itulah mereka bersapa dalam ikatan kerja dan singkat cerita, akhirnya cinta lokasi pun terjadi beberapa bulan berikutnya.

Hari berjalan, bertambah pula cinta mereka. Melihat keseriusan ini, Mba Yanti pemilik warung Proyek yang sering ditongkrongi mereka berdua, menawarkan sebuah ikatan hubungan yang serius dan legal. Bagai gayung bersambut, tawaran itu pun disepakati mereka bertiga. Cinta memang di atas segalanya saat itu dan hari ini.

Minggu berikutnya, dua insan ini pergi bersilahturahmi ke ayah dari si Alinda. Niat baik mereka disambut baik oleh Ayahanda Alinda. Namun ada satu kendala berat yang menjadi catatan penting saat itu. Masalah keyakinan yang belum bisa disatukan.

Tawaran dari sang Ayanda kepada Morgan, bahwa Cinta mereka harus disatukan lewat Agama. Bagai disambar petir saat itu. Agama manakah yang mau disatukan?
Sang Ayah dari Alinda memberikan waktu untuk mereka berpikir.

”Nok (sapaan manja Jawa kuno untuk wanita), aku tidak bisa meninggalkan agamaku. Aku mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu. Tapi Agamaku adalah cinta pertamaku yang tidak bisa kudustai. Aku terlahir Katolik dan mati pun aku Katolik”.

“Mas, aku si terserah kamu. Aku memilihmu dan tidak peduli apa Agamamu, karena saat pertama yang membuatku jatuh cinta adalah kepribadianmu dan bukan agamamu. Saat itu, aku tak tahu apa agamamu. Aku tak peduli, bila aku harus berpindah Agama dan mengikuti agamamu”.

“Nok.. Makasih atas ketulusanmu. Tapi restu orang tua adalah segalanya. Jika aku ego, pasti niatmu mengikuti agamaku aku terima dengan senang hati. Tapi satu hal yang membuatku tidak tega adalah jika niatmu itu menjadi bumerang dalam keluargamu. Kamu adalah santri yang soleh. Jika hal itu terjadi, kamu akan dikucilkan keluargamu, karena dianggap murtad. Dan itu yang aku tidak mau. Aku mencintaimu dan juga mencintai keluargamu”.

Air mata Alinda tak bisa dibendung. Perlahan jatuh berguguran membasahi pipinya. Antara haru dan sedih. Terharu dengan jawaban bijak sang kekasih dan sedih juga dengan jawaban keberatan dari niat tulusnya. Gundah gulana kalbunya. Di sini kekuatan cinta mereka kalah dan menyerah dengan persepsi cinta ilahi keduanya.

“Nok… ”
Sapa Morgan seraya mengusap air matanya Alinda yang semakin menjadi isak tangisnya.

”Jangan kau tangisi aku. Tinggalkan egomu dan tatap hari bahagiamu, walau itu tanpaku. Aku hanya musafir jalanan yang tak tahu lagi arah pulang. Kembalilah kau pada pangkuan keluargamu. Di situlah kamu dibentuk atas dasar Cinta. Aku cuma mencintaimu lewat rasa, tapi mereka mencintaimu melebihi rasa yang ada padaku”.

Enam Bulan Kemudian.
Ketika kontrak proyek rampung, saatnya Morgan harus pamit pulang ke tanah asalnya. Tanah Timor Manise.
Kota Pemalang, menjadi kota penuh kenangan manis yang terpatri dalam memorinya. Kota kecil beribu kisah. Kota kecil dengan masyarakatnya yang besar hati. Besar Kasih.

Esoknya ketika hendak beranjak pulang, Morgan menyempatkan diri hendak pamit ke Petarukan, tempat tinggalnya Alinda.

Satu hal yang sangat mengiris hati adalah kata-kata wejangan dari Mbahnya (Nenek) Alinda.

”Nak Morgan, makasih sudah mengenal kami sekeluarga. Walau kamu tidak bisa bersama dengan nak Alinda, tapi nak Morgan udah kami anggap keluarga. Kamu sudah banyak membantu. Hati-hati di jalan. Jangan telat makan. Titip salam buat dulurmu. Mbah selalu mendoakanmu nak,” jujur ini sedih sekali.

“Mbah… Makasih juga atas semua kebaikan hatinya bersama keluarga. Aku tetap mengakui keluarga ini sebagai dulurku. Mbah jaga kesehatan, aku titip Alinda mbah. Aku mencintainya dan juga mencintai keluarga ini. Aku pamit mbah.”

Morgan tak kuasa menahan tangis pilunya. Dalam isak tangisnya, Alinda memeluknya dan berusaha menenangkannya.

“Mas, kita adalah keluarga dan aku menantimu menikah, baru setelah itu aku menyusulmu. Bila kita ada lagi di kehidupan kedua, aku ingin kita seAgama.”

Frido Raebesi – Penulis Cerpen “Elegi Cinta Beda Agama”

Cerpen ini, berdasarkan kisah nyata. Nama dan tempat adalah asli dan sama.

Pemalang : 29 Desember 2017
*) Penulis adalah wartawan Voxntt.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here